Fiqih➡️ Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah

I.
Perkembangan Kaidah Fiqhiyah.

Kaidah fiqhiyah ini sebagai salah satu disiplin ilmu tidak berdiri sendiri dalam tema dan kajiannya karena Kaidah Fiqhiyah merupakan simpul-simpul umum dari beberapa permasalahan hukum Islam yang digunakan oleh fuqaha dalam mencari solusi permasalahan hukum yang muncul di tengah masyarakat dalam berbagai tema baik ibadah, muamalah, maupun isu-isu hukum Islam kontemporer.
Proses lahirnya kaidah fiqhiyyah adalah bersumber dari hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis, kemudian muncul ushul fiqh sebagai metodologi di dalam penarikan hukum (Istinbath al-ahkam). Dengan metodologi ushul fiqh yang menggunakan pola pikir deduktif yang menghasilkan fikih. Fikih banyak materinya, dari materi fikih yang banyak itu kemudian oleh ulama-ulama yang di dalam ilmunya di bidang fikih, diteliti.
Sejarah munculnya kaidah fiqhiyah dapat dibagi dalam beberapa periode penting yang terkait dengan perkembangan ilmu fiqih dalam Islam.

1.
Masa Awal Islam (Zaman Nabi Muhammad SAW).

Pada masa Nabi Muhammad SAW, kaidah fiqhiyah belum dikenal dalam bentuk yang sistematis seperti sekarang. Sebagian besar hukum-hukum Islam pada masa itu berasal langsung dari wahyu Allah, baik yang tertuang dalam Al-Qur'an maupun dalam Hadis yang diucapkan dan dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW adalah sumber hukum utama bagi umat Islam, dan umat Islam pada masa itu merujuk langsung kepada beliau untuk menjawab permasalahan kehidupan.
Contoh: Keputusan-keputusan langsung yang diambil oleh Nabi SAW, seperti hukum tentang zakat, puasa, dan haji, serta berbagai hukum lainnya, berfungsi sebagai pedoman bagi umat Islam saat itu.
Namun, karena jumlah wahyu yang turun terbatas dan sering kali berkaitan dengan kondisi tertentu, maka praktik fiqh lebih banyak dilakukan melalui ijtihad oleh para sahabat yang menyesuaikan hukum dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi pada masa itu.

2.
Masa Khulafa’ur Rasyidin (Kepemimpinan Empat Khalifah).

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, para sahabat yang menjadi Khalifah (pemimpin umat) seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali terus melakukan ijtihad (pemahaman hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis) untuk menjawab masalah-masalah baru yang tidak ditemukan dalam teks wahyu. Para sahabat ini dikenal sebagai ulama pertama yang meletakkan dasar-dasar pemikiran hukum Islam.
Contoh: Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, beliau banyak mengeluarkan fatwa dan ijtihad, yang tidak selalu ditemukan dalam teks wahyu, seperti saat beliau memutuskan untuk tidak memerangi orang yang tidak membayar zakat setelah menghimpun pendapat para sahabat.
Kaidah fiqhiyah pada masa ini masih bersifat praktis dan berbasis pada kebijakan yang dinamis sesuai dengan keadaan masyarakat, dengan mengedepankan ijtihad dan konsensus (ijma').

3.
Masa Imamah dan Kemunculan Madzhab-Madzhab Fiqh.

Setelah masa Khulafa’ur Rasyidin, Islam menyebar ke wilayah yang lebih luas, yang menyebabkan munculnya beragam masalah hukum baru. Di sinilah madzhab-madzhab fiqh mulai berkembang. Pada masa ini, para ulama mulai menyusun kaidah-kaidah fiqh secara lebih sistematis, mengacu pada Al-Qur'an dan Hadis, serta mengikuti prinsip-prinsip qiyas (analogi hukum), istihsan (pertimbangan hukum yang lebih ringan), dan maslahah mursalah (kepentingan umum).

a.
Madzhab Hanafi.

Madzhab Hanafi didirikan oleh Imam Abu Hanifah pada abad ke-8 Masehi di daerah Kufah (Irak). Imam Abu Hanifah lebih cenderung menggunakan qiyas (analogi hukum) dalam menetapkan hukum-hukum Islam. Kaidah-kaidah fiqhiyah yang berkembang di madzhab Hanafi menekankan pada konsensus para sahabat dan kebiasaan (uruf) dalam masyarakat.

b.
Madzhab Maliki.

Madzhab Maliki didirikan oleh Imam Malik bin Anas pada abad ke-8 Masehi di Madinah. Imam Malik berfokus pada amalan (praktik) masyarakat Madinah sebagai sumber hukum. Kaidah fiqhiyah dalam madzhab Maliki lebih banyak mengandalkan uruf dan ijma’ (konsensus para ulama), serta hadis yang sahih.

c.
Madzhab Syafi'i.

Madzhab Syafi'i didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris al-Syafi'i pada abad ke-9 Masehi. Imam Syafi’i merupakan orang pertama yang secara formal menyusun metode ilmiah dalam fiqh, yang menggabungkan Al-Qur'an, Hadis, Ijma', dan Qiyas sebagai dasar-dasar hukum. Kaidah fiqhiyah dalam madzhab Syafi’i adalah yang paling sistematis dan terdokumentasi dengan baik.

d.
Hanbali.

Madzhab Hanbali didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal pada abad ke-9 Masehi. Madzhab ini lebih cenderung mengutamakan Hadis sebagai sumber hukum, dan lebih sedikit mengandalkan qiyas dan ijma' dibandingkan dengan tiga madzhab lainnya. Kaidah fiqhiyah dalam madzhab Hanbali sangat ketat dalam penerimaan hadis dan berpegang pada literal teks-teks agama.

4.
Masa Imamah dan Kemunculan Madzhab-Madzhab Fiqh.

Pada masa ini, dengan semakin berkembangnya madzhab fiqh, para ulama mulai melakukan kodifikasi dan sistematisasi kaidah-kaidah fiqh yang berlaku di dalam madzhab-madzhab tersebut. Dalam proses ini, kaidah fiqh tidak hanya diterapkan untuk masalah ibadah tetapi juga untuk masalah sosial, ekonomi, dan politik. Pada masa ini, banyak kitab-kitab fiqh yang terkenal seperti:

➡️
Al-Muwatta’ karya Imam Malik.
➡️
Al-Umm karya Imam Syafi’i.
➡️
Al-Mughni karya Ibn Qudamah (madzhab Hanbali).
➡️
Badai’ al-Sanai’ karya al-Kasani (madzhab Hanafi).

Munculnya kaidah-kaidah fiqhiyah dimulai dari prinsip dasar yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan diperluas oleh para sahabat dan ulama setelahnya. Para ulama menggunakan kaidah-kaidah ini untuk menyelesaikan berbagai masalah yang tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur'an atau Hadis. Seiring berkembangnya zaman, kaidah-kaidah fiqhiyah juga semakin berkembang, terutama untuk menghadapi tantangan zaman yang berubah dan masalah-masalah baru yang muncul dalam kehidupan umat Islam.

II.
Kaidah-Kaidah Fiqiyah - Qawa'id al Fiqhiyyah- ( القواعد الفقهية ).

Dalam literatur-literatur, qawa'id fiqhiyah (kaidah fiqih) dibagi menjadi 2 yaitu (1) al-qawaid al-asasiyah ( القواعد الأساسية ) yang sering disebut kaidah-kaidah fiqh induk. Disebut kaidah induk, karena banyak kaidah-kaidah cabang yang dapat dikembalikan atau diproyeksikan kepadanya. (2) Qawa'id al Fiqhiyyah Ghairu Asasiyyah ( القواعد الفقهية غير الأساسية ), diseebut Ghairu Asasiyyah ( غير الأساسية ) karena merupakan kaidah-kaidah umum fiqh yang bukan kaidah asasiyah. Qawa'id al Fiqhiyyah Ghairu Asasiyyah tersebut jumlahnya cukup banyak baik yang disepakati oleh ulama maupun yang masih diperselisihkan oleh ulama.

A.
Kaidah Pokok ((al-qawaid al-asasiyah) .

1.
Al-Umūr Bimaqāṣidihā.

Al-Umūr Bimaqāṣidihā ( الأمور بمقاصدها ) artinya "Segala sesuatu tergantung pada tujuannya.".
Kaidah ini menegaskan bahwa hukum suatu perbuatan dalam syariat tidak hanya dilihat dari bentuk lahirnya saja, tetapi sangat tergantung pada niat dan tujuan yang mendasarinya. Dengan kata lain, niat adalah unsur pokok yang menentukan status hukum suatu tindakan.
Contoh Dalil:
HR. Bukhari dan Muslim

إِإِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Innamal-a‘mālu bin-niyyāt, wa innamā likullimri’in mā nawā, fa man kānat hijratuhū ilallāhi wa rasūlih, fa hijratuhū ilallāhi wa rasūlih, wa man kānat hijratuhū lidunyā yuṣībuha, aw imra’atin yatazawwajuhā, fa hijratuhū ilā mā hājara ilaih.
"Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya ia akan mendapatkan sesuatu yang diniatkannya, barangsiapa hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya untuk memperoleh dunia atau seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya..
Hadis ini menegaskan tentang urgensi niat dalam setiap amal perbuatan manusia.
Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 100 (4:100):

وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

waman yuhaajir fii sabiili allaahi yajid fii al-ardhi muraaghaman katsiiran wasa’atan waman yakhruj min baytihi muhaajiran ilaa allaahi warasuulihi tsumma yudrik-hu almawtu faqad waqa’a ajruhu ‘alaa allaahi wakaana allaahu ghafuuran rahiimaan. Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus...

Contoh penerapan:

➡️
Seseorang melakukan shalat berjamaah di masjid dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka shalatnya bernilai ibadah.
➡️
Tetapi jika seseorang hanya datang ke masjid untuk pamer (riya’), maka pahalanya bisa hilang karena niatnya tidak ikhlas.
➡️
Dalam jual beli, niat untuk mencari keuntungan halal adalah sah, tapi jika niat untuk menipu maka jual beli tersebut batil.

Kaidah Cabang :

a.
Al-‘ibrah fī al-‘uqūdi lil-maqāṣidi wa al-ma‘ānī lā li al-alfāẓi wa al-mabānī.

Al-‘ibrah fī al-‘uqūdi lil-maqāṣidi wa al-ma‘ānī lā li al-alfāẓi wa al-mabānī ( العِبْرَةُ فِي العُقُودِ لِلمَقَاصِدِ وَالمَعَانِي لا لِلْأَلْفَاظِ وَالمَبَانِي ) artinya "Penilaian dalam akad didasarkan pada tujuan dan maknanya, bukan pada lafaz dan bentuk luarnya".

b.
An-niyyatu taj‘alu al-mubāḥa ‘ibādah.

An-niyyatu taj‘alu al-mubāḥa ‘ibādah ( النِّيَّةُ تَجْعَلُ المُبَاحَ عِبَادَةً ) artinya "Niat bisa mengubah perkara mubah menjadi ibadah".
Contoh: Tidur agar kuat bangun malam → jadi ibadah karena niat.

c.
An-niyyatu tuʾaththiru fī at-ta‘yīni wa at-takhṣīṣ.

An-niyyatu tuʾaththiru fī at-ta‘yīni wa at-takhṣīṣ ( النِّيَّةُ تُؤَثِّرُ فِي التَّعْيِينِ وَالتَّخْصِيصِ ) artinya :"Niat berpengaruh pada penentuan dan pengkhususan".
Contoh: Qadha salat Zuhur atau Asar ditentukan dari niat.

d.
Al-aṣlu fī al-‘uqūdi al-ma‘ānī lā al-alfāẓ.

Al-aṣlu fī al-‘uqūdi al-ma‘ānī lā al-alfāẓ ( الأَصْلُ فِي العُقُودِ المَعَانِي لا الأَلْفَاظ ) "Dalam akad, makna lebih utama dari lafaz.".

e.
artinya :Niyyatu al-muta‘āmilīn tuʾaththiru fī al-ḥukm.

Niyyatu al-muta‘āmilīn tuʾaththiru fī al-ḥukm ( الأَصْلُ فِي العُقُودِ المَعَانِي لا الأَلْفَاظ ) artinya : "Niat para pihak dalam muamalah berpengaruh terhadap hukum suatu akad".
Contoh: Jual beli yang disertai syarat pengembalian dengan tambahan → riba.

2.
Al-Yaqīnu Lā Yuzālu bisy-Syakk.

Al-Yaqīnu Lā Yuzālu bisy-Syakk ( الْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ ) artinya "Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan".
Kaidah ini berarti bahwa suatu hal yang diyakini kebenarannya tidak dapat dibatalkan atau dihilangkan hanya karena munculnya keraguan semata, selama tidak ada bukti yang kuat untuk mengubah keyakinan tersebut. Ini menjadi prinsip penting dalam menetapkan hukum, terutama dalam masalah ibadah dan muamalah.
Contoh Dalil:
Surat Yunus [10]: 36

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

wamaa yattabi’u aktsaruhum illaa zhannan inna alzhzhanna laa yughnii mina alhaqqi syay-an inna allaaha ‘aliimun bimaa yaf’aluuna.
"Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Hr Muslim:

إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لاَ؟ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا

Idzā wajada aḥadukum fī baṭnihi syai’an, fa asykala ‘alayhi: akharaja minhu syai’un am lā, falā yakhrujanna minal-masjid ḥattā yasma‘a ṣawtan aw yajida rīḥan.
Apabila seseorang dari kalian merasakan sesuatu di perutnya, kemudian ragu-ragu apakah keluar sesuatu darinya ataukah tidak, maka janganlah keluar dari masjid sampai mendengar suara atau mencium baunya.
HR Muslim :

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ

Idzā syakka aḥadukum fī ṣalātihī fa lam yadrī kam ṣallā — tsalāthan am arba‘an — falyuṭraḥi as-syakka walyabni ‘alā mā istayqana, tsumma yasjud sajdatayn qabla an yusallima, fa in kāna ṣallā khamsan syaffa‘na lahu ṣalātahu, wa in kāna ṣallā itmāman li-arba‘in kānatā targhīman lisy-syayṭān.
Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga ataukah empat rakaat maka buanglah keraguan, dan ambilah yang pasti (yaitu yang sedikit). Kemudian sujudlah dua kali sebelum memberi salam. Jika ternyata dia shalat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan shalatnya. Dan jika, ternyata shalatnya memang empat rakaat maka kedua sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan'.

Contoh penerapan:

➡️
Yakin berwudhu → ragu apakah batal → dihukumi tetap suci.
➡️
Yakin belum shalat → ragu sudah shalat atau belum → tetap dianggap belum shalat.
➡️
Yakin telah membayar utang → ragu apakah sudah lunas → tetap dihukumi sudah lunas.

Kaidah Cabang :

a.
Man tayaqqana ath-thahārah wa syakka fī al-ḥadats, baqiya ‘ala ath-thahārah.

Man tayaqqana ath-thahārah wa syakka fī al-ḥadats, baqiya ‘ala ath-thahārah ( مَنْ تَيَقَّنَ الطَّهَارَةَ وَشَكَّ فِي الْحَدَثِ بَقِيَ عَلَى الطَّهَارَةِ ) artinya "Barang siapa yang yakin dalam keadaan suci, lalu ragu apakah telah berhadas, maka ia tetap dianggap suci".
Contoh: Seseorang yakin telah berwudu, lalu ragu apakah sudah batal atau belum — maka tetap dihukumi suci.

b.
Man tayaqqana al-ḥadats wa syakka fī ath-thahārah, baqiya ‘ala al-ḥadats.

Man tayaqqana al-ḥadats wa syakka fī ath-thahārah, baqiya ‘ala al-ḥadats ( مَنْ تَيَقَّنَ الْحَدَثَ وَشَكَّ فِي الطَّهَارَةِ بَقِيَ عَلَى الْحَدَثِ ) artinya "Barang siapa yakin dalam keadaan hadas, lalu ragu apakah sudah bersuci, maka tetap dianggap dalam keadaan hadas".

c.
Al-aṣlu baqāʾu mā kāna ‘alā mā kāna.

Al-aṣlu baqāʾu mā kāna ‘alā mā kāna ( الأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ ) artinya "Hukum asal tetap berlanjut sebagaimana sebelumnya".
Contoh: Seseorang yakin telah shalat, lalu ragu apakah jumlah rakaatnya benar — kembali pada yang diyakini (jumlah pasti).

d.
Al-aṣlu fī al-ashyāʾi ath-thahārah.

Al-aṣlu fī al-ashyāʾi ath-thahārah ( الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الطَّهَارَةُ ) artinya "Hukum asal segala sesuatu adalah suci, sampai ada dalil yang menunjukkan sebaliknya".

e.
Al-aṣlu fī adz-dzimmah al-barāʾah.

Al-aṣlu fī adz-dzimmah al-barāʾah ( الأَصْلُ فِي الذِّمَّةِ البَرَاءَةُ ) artinya "Hukum asal dalam tanggungan seseorang adalah bebas dari kewajiban sampai terbukti ada beban".
Contoh: Tidak diwajibkan membayar utang jika tidak terbukti adanya utang.

3.
Al-Masyaqqatu Tajlibu at-Taysīr.

Al-Masyaqqatu Tajlibu at-Taysīr ( المشقة تجلب التيسير ) artinya "Kesulitan mendatangkan kemudahan".
Kaidah ini berarti bahwa jika dalam pelaksanaan suatu hukum terjadi kesulitan atau kesempitan di luar kebiasaan, maka syariat memberikan keringanan atau kemudahan. Ini mencerminkan sifat dasar Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, bukan untuk memberatkan umat manusia.
Contoh Dalil:
Surat Al-Baqarah [2]: 185

يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ

Yurīdu-llāhu bikumu al-yusra wa lā yurīdu bikumu al-‘usra.
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.
Surat Al-Hajj [22]: 78 :

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي ٱلدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Wa mā ja‘ala ‘alaikum fī ad-dīni min ḥaraj.
Dan Dia tidak menjadikan untukmu kesulitan dalam agama..
HR Muslim :

مَا خُيِّرَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا، مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا

Mā khuyyira Rasūlullāhi ṣallallāhu ‘alayhi wa sallama bayna amrayn illā akhadza aysarahumā, mā lam yakun itsman.
Rasulullah ﷺ tidak pernah diberi pilihan antara dua perkara kecuali beliau memilih yang paling mudah dari keduanya, selama bukan dosa.

Contoh penerapan:

➡️
Boleh tayammum ketika tidak ada air atau karena sakit yang berat.
➡️
Boleh menjamak dan mengqashar shalat ketika sedang safar atau hujan.
➡️
oleh berbuka puasa bagi orang yang sakit, musafir, hamil, atau menyusui.

➡️
Keringanan dalam hukum jual beli ketika terjadi darurat atau hajat tertentu.

Kaidah Cabang :

a.
Idhā dāqa al-amru ittasaʿa.

Idhā dāqa al-amru ittasaʿa ( إِذَا ضَاقَ الأَمْرُ اتَّسَعَ ) artinya "Jika suatu perkara menjadi sempit (sulit), maka menjadi luas (mudah)".
Contoh: Jika sulit berwudu karena tidak ada air, maka dibolehkan tayamum.

b.
Aḍ-Ḍarūrātu Tubīḥu al-Maḥẓūrāt.

Aḍ-Ḍarūrātu Tubīḥu al-Maḥẓūrāt ( الضَّرُورَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ ) artinya "Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang".
Contoh: Makan bangkai ketika kelaparan dan tidak ada makanan lain yang halal.

c.
Aḍ-Ḍararu Yuzāl.

Aḍ-Ḍararu Yuzāl ( الضَّرُورَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ ) artinya "Bahaya harus dihilangkan".
Contoh: Jika sebuah akad membawa bahaya bagi salah satu pihak, maka harus diubah atau dibatalkan.

d.
Yutaḥammalu aḍ-ḍararu al-khāṣṣ lidafʿi aḍ-ḍarari al-ʿām.

Yutaḥammalu aḍ-ḍararu al-khāṣṣ lidafʿi aḍ-ḍarari al-ʿām ( يُتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُّ لِدَفْعِ الضَّرَرِ الْعَامِّ ) artinya "Bahaya khusus boleh ditanggung untuk menghindari bahaya yang lebih umum".
Contoh: Membatasi akses seseorang yang berpenyakit menular demi keselamatan masyarakat umum.

e.
Al-Masyaqqatu Tujlabu at-Takhfīf.

Al-Masyaqqatu Tujlabu at-Takhfīf ( المَشَقَّةُ تُجْلَبُ التَّخْفِيْفَ ) artinya "Kesulitan mendatangkan kemudahan atau keringanan.".
Contoh: Orang sakit boleh shalat dengan duduk atau berbaring jika tidak mampu berdiri.

4.
Adh-Dhararu Yuzālu.

Adh-Dhararu Yuzālu ( الضَّرَرُ يُزَالُ ) artinya "Kesulitan mendatangkan kemudahan".
Kaidah ini mengandung prinsip bahwa Islam tidak membenarkan adanya kerugian, bahaya, atau kemudaratan dalam kehidupan seseorang. Oleh karena itu, segala bentuk tindakan atau peraturan yang menimbulkan bahaya harus dihilangkan, dicegah, atau dikurangi sesuai kemampuan dan syariat.
Contoh Dalil:
Surat Al-Baqarah [2]: 195

وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ

Wa lā tulqū bi-aydīkum ilā at-tahlukah.
"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan..
Surat Al-A'raf [7]: 157 :

...وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَٱلْأَغْلَـٰلَ ٱلَّتِى كَانَتْ عَلَيْهِمْ...

...Wa yaḍa‘u ‘anhum iṣrahum wal-aghlāl allatī kānat ‘alayhim...
...dan Dia (Nabi) menghapuskan dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.
HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Malik dalam Al-Muwaththa :

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Lā ḍarara wa lā ḍirār.
Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.
Hadis ini dianggap sebagai hadis pokok dalam pembentukan kaidah ini.

Contoh penerapan:

➡️
Menjual makanan kadaluarsa yang membahayakan dilarang karena mengandung ḍarar.
➡️
Menghilangkan najis dari tempat shalat, karena najis termasuk bentuk kemudaratan.
➡️
Orang yang punya penyakit menular dilarang bercampur bebas, karena bisa membahayakan orang lain.

➡️
Boleh menggugurkan kewajiban haji bagi orang yang sakit keras, karena membahayakan dirinya.

Kaidah Cabang :

a.
Lā Ḍarara wa Lā Ḍirār.

Lā Ḍarara wa Lā Ḍirār (لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ ) artinya "Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain".
Contoh: Tidak boleh menjual makanan kadaluarsa yang bisa membahayakan pembeli.

b.
Yuzālu aḍ-ḍararu al-ashaddu bi aḍ-ḍarari al-akhaf.

Yuzālu aḍ-ḍararu al-ashaddu bi aḍ-ḍarari al-akhaf ( يُزَالُ الضَّرَرُ الأَشَدُّ بِالضَّرَرِ الأَخَفِّ ) artinya "Bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan".
Contoh: Mengisolasi orang sakit menular (meskipun terasa berat) untuk mencegah wabah yang lebih luas.

c.
Yutaḥammalu aḍ-ḍararu al-khāṣṣ lidafʿi aḍ-ḍarari al-ʿām.

Yutaḥammalu aḍ-ḍararu al-khāṣṣ lidafʿi aḍ-ḍarari al-ʿām ( يُتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُّ لِدَفْعِ الضَّرَرِ الْعَامِّ ) artinya "Bahaya individu boleh ditanggung untuk menghindari bahaya umum".
Contoh: Membongkar satu rumah untuk membuat jalur evakuasi saat bencana.

d.
Adh-Ḍararu Lā Yuzālu Bi-Mithlih.

Adh-Ḍararu Lā Yuzālu Bi-Mithlih ( الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِمِثْلِهِ ) artinya "Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang sebanding".
Contoh: Tidak dibenarkan mencuri dari pencuri sebagai bentuk balasan.

5.
Al-‘Ādatu Muḥakkamah.

Al-‘Ādatu Muḥakkamah ( الضَّرَرُ يُزَالُ ) artinya "Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum (ketetapan)".
Kaidah ini menyatakan bahwa adat kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat bisa dijadikan dasar hukum selama tidak bertentangan dengan nash syar'i (Al-Qur’an dan Hadis) serta tidak membawa kemungkaran atau kezaliman.
Dengan kaidah ini kebiasaan atau adat yang berlaku dalam suatu masyarakat atau tempat dapat menjadi dasar hukum, asalkan tidak bertentangan dengan Al-Qur'an atau Hadis. Hal ini penting dalam mengatur masalah muamalah atau sosial, di mana kebiasaan masyarakat bisa dijadikan acuan selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat.
Adat dalam Islam dihormati karena syariat Islam datang untuk membimbing dan menyempurnakan adat, bukan menghapus seluruhnya.
Contoh Dalil:
Surat Al-A'raf [7]: 199

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Khudhi al-‘afwa wa’mur bil-‘urfi wa a‘riḍ ‘anil-jāhilīn.
jadilah pemaaf dan perintahkanlah kepada yang ma'ruf (adat baik yang diakui syariat), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa kebiasaan yang baik dalam masyarakat, yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, diperbolehkan dan dapat dijadikan dasar dalam kehidupan sosial dan hukum. kata أَعْرِ dalam ayat tersebut bermakna adat kebiasaan masyarakat yang baik, yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Surat Al-A'raf [7]: 157 :

...وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَٱلْأَغْلَـٰلَ ٱلَّتِى كَانَتْ عَلَيْهِمْ...

...Wa yaḍa‘u ‘anhum iṣrahum wal-aghlāl allatī kānat ‘alayhim...
...dan Dia (Nabi) menghapuskan dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.

Contoh penerapan:

➡️
Mahar dalam pernikahan menyesuaikan adat masing-masing daerah.
➡️
Lafaz ijab-qabul disesuaikan dengan bahasa yang biasa digunakan masyarakat.
➡️
Standar ukuran dan takaran dalam transaksi, seperti liter, kilogram, dst., mengikuti kebiasaan lokal.

➡️
Pakaian sopan, ukurannya bisa berbeda tergantung budaya, selama menutup aurat.

Kaidah Cabang :

a.
Al-Maʿrūfu ʿUrfan Kal-Mashrūṭi Sharṭan.

Al-Maʿrūfu ʿUrfan Kal-Mashrūṭi Sharṭan ( الْمَعْرُوفُ عُرْفًا كَالْمَشْرُوطِ شَرْطًا ) artinya "Sesuatu yang sudah dikenal berdasarkan kebiasaan seperti sesuatu yang disyaratkan secara eksplisit".
Contoh: Dalam transaksi sewa rumah, sudah dipahami tanpa disebutkan bahwa penyewa tidak boleh merusak properti.

b.
Al-‘Ibratu fi at-Taʿāmuli lil-Maqāṣidi wal-Maʿānī lā lil-Alfāẓi wal-Mabānī.

Al-‘Ibratu fi at-Taʿāmuli lil-Maqāṣidi wal-Maʿānī lā lil-Alfāẓi wal-Mabānī ( الْعِبْرَةُ فِي التَّعَامُلِ لِلْمَقَاصِدِ وَالْمَعَانِي لَا لِلْأَلْفَاظِ وَالْمَبَانِي ) artinya "Yang menjadi ukuran dalam muamalah adalah maksud dan maknanya, bukan semata-mata lafaz dan bentuk".
Contoh: Jika seseorang mengatakan “pinjam” padahal maksudnya “jual-beli”, maka yang berlaku adalah maksud sebenarnya.

c.
Aṯ-Ṯābitu bil-ʿUrf Kaṯ-Ṯābit bin-Naṣṣ.

Aṯ-Ṯābitu bil-ʿUrf Kaṯ-Ṯābit bin-Naṣṣ ( الثَّابِتُ بِالْعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالنَّصِّ ) artinya "Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan adat/kebiasaan seperti halnya yang ditetapkan berdasarkan nash".
Contoh: Cara berpakaian dalam suatu masyarakat bisa dianggap standar asalkan tidak bertentangan dengan syariat.

d.
Lā Yunkaru Taghayyuru al-Aḥkām bi-Taghayyuri az-Zamān wal-Makān.

Lā Yunkaru Taghayyuru al-Aḥkām bi-Taghayyuri az-Zamān wal-Makān ( لَا يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الْأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ الزَّمَانِ وَالْمَكَانِ ) artinya "Tidak dapat diingkari bahwa hukum dapat berubah seiring perubahan waktu dan tempat".
Contoh: Fatwa tentang media sosial tidak ada di masa klasik, tapi sekarang bisa ditetapkan berdasarkan kondisi zaman.

B.
Kaidah-Kaidah Ghairu Asāsiyyah.

Kaidah-Kaidah Ghairu Asāsiyyah :

1.
Al-ijtihādu lā yunqaḍu bil-ijtihād.

Al-ijtihādu lā yunqaḍu bil-ijtihād ( الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد ) artinya : keputusan hukum yang dihasilkan dari ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad lain, kecuali terdapat dalil yang lebih kuat.

2.
Idhā ijtamaʿa al-ḥalāl wa al-ḥarām ghalaba al-ḥarām.

Idhā ijtamaʿa al-ḥalāl wa al-ḥarām ghalaba al-ḥarām ( إذا اجتمع الحلال والحرام غلب الحرام ) artinya : Apabila berkumpul antara halal dan haram, maka yang haram lebih didahulukan.
Dengan kaidah ini, dalam situasi di mana suatu perkara mengandung unsur halal dan haram secara bersamaan, maka unsur haram lebih diutamakan untuk dihindari.

3.
Al-īthāru bil-qurbi makrūhun wa fī ghayrihā maḥbūbun.

Al-īthāru bil-qurbi makrūhun wa fī ghayrihā maḥbūbun ( الإيثار بالقرب مكروه وفي غيرها محبوب ) artinya : Mengutamakan orang lain dalam ibadah adalah makruh, dan dalam selainnya adalah dianjurkan..
Dengan kaidah ini dalam ibadah yang bersifat pribadi, mendahulukan orang lain tidak dianjurkan, namun dalam urusan duniawi, hal tersebut dianjurkan.

4.
At-tābiʿu tābiʿ.

At-tābiʿu tābiʿ ( التابع تابع artinya : "Yang mengikuti tetap mengikuti."
Maksudnya sesuatu yang bergantung pada hal lain mengikuti hukum dari hal tersebut.

5.
Taṣarrufu al-imāmi ʿala ar-raʿiyyati manūṭun bil-maṣlaḥah.

Taṣarrufu al-imāmi ʿala ar-raʿiyyati manūṭun bil-maṣlaḥah ( تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة artinya : "Kebijakan pemimpin terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan."
Maksudnya tindakan pemimpin harus didasarkan pada kepentingan dan kebaikan rakyat.

6.
Al-ḥudūdu tasquṭu bisy-syubuhāt.

Al-ḥudūdu tasquṭu bisy-syubuhāt ( الحدود تسقط بالشبهات artinya : "Hukuman hudud gugur karena adanya keraguan."
Maksudnya jika terdapat keraguan dalam suatu kasus, maka hukuman hudud tidak dijatuhkan.

7.
Al-ḥurru lā yadkhulu taḥta al-yad.

Al-ḥurru lā yadkhulu taḥta al-yad ( الحُرُّ لا يَدْخُلُ تَحْتَ اليَدِ artinya : "Orang merdeka tidak berada di bawah kekuasaan orang lain."
Maksudnya Menunjukkan bahwa seseorang yang merdeka tidak dapat diperlakukan seperti budak.

8.
Al-ḥarīmu lahu ḥukmu mā huwa ḥarīmun lahu.

Al-ḥurru lā yadkhulu taḥta al-yad ( الحَرِيمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيمٌ لَهُ artinya : "Area pelindung memiliki hukum yang sama dengan yang dilindungi."
Contoh :
halaman masjid memiliki kehormatan yang sama dengan masjid itu sendiri.

9.
Idhā ijtamaʿa amrāni min jinsin wāḥidin wa lam yakhtalif maqṣūdihumā dakhala aḥaduhumā fī al-ākhar ghāliban

Idhā ijtamaʿa amrāni min jinsin wāḥidin wa lam yakhtalif maqṣūdihumā dakhala aḥaduhumā fī al-ākhar ghāliban ( إذا اجتمع أمران من جنس واحد ولم يختلف مقصودهما دخل أحدهما في الآخر غالبًا artinya : "Apabila dua perkara dari jenis yang sama berkumpul dan tujuannya tidak berbeda, maka salah satunya masuk ke dalam yang lain."
Misalnya, niat puasa sunnah dan puasa qadha secara bersamaan.

10.
Iʿmālu al-kalāmi awlā min ihmālihi

Iʿmālu al-kalāmi awlā min ihmālihi ( إعمال الكلام أولى من إهماله artinya : "Mengamalkan suatu ucapan lebih utama daripada mengabaikannya."
Maksudnya :
Dalam memahami teks, lebih baik mencari makna yang dapat diamalkan daripada mengabaikannya.

11.
al-aṣlu baqāʾu mā kāna ʿalā mā kān

al-aṣlu baqāʾu mā kāna ʿalā mā kān ( الأصل بقاء ما كان على ما كان artinya : "Asal segala sesuatu tetap seperti semula sampai ada bukti yang mengubahnya."
Contoh:
Seseorang yang telah bersuci dianggap tetap dalam keadaan suci sampai ada bukti ia berhadats. Maka jika ia ragu apakah batal atau tidak, maka dihukumi tetap suci.

12.
al-ghunmu bi al-ghurmi

al-ghunmu bi al-ghurmi ( الغنم بالغرم artinya : "Keuntungan itu sebanding dengan risiko."
Contoh:
Jika seseorang menyewa rumah, maka ia berhak menikmati rumah tersebut (keuntungan), tapi juga menanggung risiko jika ada kerusakan yang ia sebabkan.

13.
man istaʿjala al-shayʾa qabla awānihi ʿuqiba biḥirmānihi

man istaʿjala al-shayʾa qabla awānihi ʿuqiba biḥirmānihi ( الغنم بالغرم artinya : "Siapa yang tergesa-gesa mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia dihukum dengan tidak mendapatkannya."
Contoh:
Seorang anak yang membunuh orang tuanya untuk mendapatkan warisan, maka ia tidak berhak atas warisan tersebut.

14.
al-niyyah fī al-yamīn tukhaṣṣiṣ al-ʿumūm wa tuʿammim al-khuṣūṣ

al-niyyah fī al-yamīn tukhaṣṣiṣ al-ʿumūm wa tuʿammim al-khuṣūṣ ( الغنم بالغرم artinya : "Niat dalam sumpah bisa mempersempit makna umum dan memperluas makna khusus."
Contoh:
Jika seseorang bersumpah "Saya tidak akan makan daging", dan niatnya hanya daging sapi, maka hanya itu yang haram baginya.

15.
lā yunsabu ilā sākit qawl

lā yunsabu ilā sākit qawl ( الغنم بالغرم artinya : "Tidak boleh dinisbahkan suatu ucapan kepada orang yang diam."
Contoh:
Diamnya seseorang ketika ditanya tentang sesuatu bukan berarti menyetujui, kecuali jika diamnya dalam konteks menunjukkan ridha (seperti dalam ijab qabul nikah).

16.
al-ḍararu al-ashaddu yuzālu bi al-ḍarari al-akhaf

al-ḍararu al-ashaddu yuzālu bi al-ḍarari al-akhaf ( الغنم بالغرم artinya : "Bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan."
Contoh:
Jika ada pasien yang harus diamputasi salah satu anggota tubuhnya agar tidak menyebar ke seluruh tubuh, maka dilakukan amputasi karena itu bahaya yang lebih ringan dibanding kehilangan nyawa.

17.
yuḥtamal al-ḍarar al-khāṣ li dafʿi al-ḍarar al-ʿāmm

yuḥtamal al-ḍarar al-khāṣ li dafʿi al-ḍarar al-ʿāmm ( يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام artinya : "Bahaya khusus ditanggung untuk mencegah bahaya umum."
Contoh:
Pemerintah bisa merobohkan rumah seseorang untuk membangun jalan umum yang sangat penting demi kepentingan masyarakat luas, dengan tetap memberikan ganti rugi.

18.
idhā ḍāqa al-amru ittasaʿa wa idhā ittasaʿa ḍāqa

idhā ḍāqa al-amru ittasaʿa wa idhā ittasaʿa ḍāqa ( إذا ضاق الأمر اتسع وإذا اتسع ضاق artinya : "Jika suatu urusan menjadi sempit, maka hukum menjadi longgar; dan jika urusan longgar, maka hukum menjadi ketat."
Contoh:
Saat seseorang tidak bisa berdiri untuk salat karena sakit, ia dibolehkan duduk. Namun jika sudah mampu berdiri, tidak dibolehkan lagi salat duduk.

19.
al-maysūru lā yasquṭu bi al-maʿsūr

al-maysūru lā yasquṭu bi al-maʿsūr ( الميسور لا يسقط بالمعسور artinya : "Yang mudah tidak gugur karena yang sulit."
Contoh:
Jika seseorang tidak mampu berwudu seluruh tubuhnya karena luka, maka ia tetap wajib menyucikan bagian tubuh yang sehat saja.

20.
al-ʿādatu muḥakkamah

al-ʿādatu muḥakkamah ( العادة محكمة artinya : "Kebiasaan dapat dijadikan hukum."
Contoh:
Dalam akad jual beli, jika tidak disebutkan bahwa pembeli harus membawa barang sendiri, maka dilihat kebiasaan: apakah biasanya penjual mengantar atau tidak. Jika adat menyebut penjual yang mengantar, maka ia wajib mengantar.

21.
Mā lā yatimmu al-wājib illā bihi fa-huwa wājib

Mā lā yatimmu al-wājib illā bihi fa-huwa wājib ( ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب artinya : "Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak bisa sempurna, maka sesuatu itu hukumnya juga wajib."
Contoh:
Kaidah ini menjelaskan bahwa jika ada sesuatu yang bukan bagian dari ibadah pokok, tetapi tanpa hal itu ibadah tidak bisa dilaksanakan, maka hukum dari sesuatu tersebut menjadi wajib juga. Jika Allah mewajibkan sesuatu, dan pelaksanaan kewajiban itu bergantung pada hal lain, maka hal lain itu menjadi bagian dari kewajiban juga.
Contoh-Contoh Penerapan:
Wudhu untuk Shalat:

➡️
Shalat itu wajib.
➡️
Wudhu adalah syarat sah shalat.
➡️
Maka, wudhu menjadi wajib karena shalat tidak sah tanpa wudhu.

22.
Adh-Ḍarūrātu Tuqaddaru bi-Qadarihā

Adh-Ḍarūrātu Tuqaddaru bi-Qadarihā ( ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب artinya : "Kondisi darurat diukur sesuai dengan kadar (kebutuhannya)."
Kaidah ini bermakna bahwa ketika syariat memberikan keringanan hukum (dispensasi) karena suatu keadaan darurat, maka keringanan itu tidak boleh melebihi batas kebutuhan.
Darurat artinya situasi yang mengancam jiwa, harta, kehormatan, atau agama yang tidak bisa dihindari kecuali dengan melanggar larangan syariat. Syariat Islam memperbolehkan larangan dalam kondisi darurat, tapi dengan batasan minimal agar tidak membuka celah penyalahgunaan.
Contoh-Contoh Penerapan:
1. Makan Bangkai karena Kelaparan:

➡️
Orang yang terancam mati kelaparan boleh makan bangkai.
➡️
Tapi hanya sebatas untuk menyelamatkan nyawa, tidak boleh kenyang-kenyangan.

2. Makan Bangkai karena Kelaparan:

➡️
ika tidak ada dokter wanita dan pengobatan penting, maka membuka aurat boleh.
➡️
Tapi hanya sebagian tubuh yang perlu diperiksa, bukan seluruhnya.

23.
Asy-Syakku Lā Yarfa‘u al-Yaqīn

Asy-Syakku Lā Yarfa‘u al-Yaqīn ( الشَّكُّ لَا يَرْفَعُ الْيَقِين artinya : “Keraguan tidak menghilangkan keyakinan.”
Kaidah ini bermakna bahwa selama seseorang telah yakin terhadap suatu keadaan atau hukum, maka munculnya keraguan setelahnya tidak cukup untuk mengubah atau membatalkan keyakinan tersebut.
Kaidah ini menjadi prinsip dasar dalam menjaga stabilitas hukum dan menghindari waswas (keraguan yang berlebihan). Kaidah ini menjaga stabilitas dan ketenangan dalam ibadah maupun muamalah. Syariat tidak menetapkan hukum hanya karena dugaan lemah, tetapi membutuhkan dasar keyakinan. Berdasarkan kaidah ini :

Yaqīn (keyakinan):
sesuatu yang sudah pasti atau telah dilakukan.
Syakk (keraguan):
munculnya dugaan atau kemungkinan yang tidak pasti.

Maka, jika seseorang sudah yakin bahwa ia telah melakukan sesuatu, lalu muncul keraguan, maka yang dipegang adalah yang yakin.
Contoh-Contoh Penerapan:

Dalam Wudhu:
Sudah yakin berwudhu, tapi ragu apakah sudah batal atau belum → tetap dianggap suci.
Dalam Shalat:
Yakin baru shalat tiga rakaat, lalu ragu apakah sudah masuk keempat → tetap dianggap tiga rakaat dan lanjutkan.
Dalam Puasa:
Seseorang yakin bahwa fajar belum terbit saat sahur, tapi kemudian ragu → puasanya tetap sah.

24.
lā ʿibrata bi al-ẓanni al-bayyini khaṭaʾuhu

lā ʿibrata bi al-ẓanni al-bayyini khaṭaʾuhu ( لا عِبْرَةَ بِالظَّنِّ الْبَيِّنِ خَطَؤُه artinya : “Tidak dianggap (tidak diperhitungkan) dugaan yang nyata-nyata salahnya.”
Kaidah ini menyatakan bahwa dugaan (zhan) atau prasangka yang jelas-jelas keliru, tidak dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum. Jika sesuatu diduga benar, namun ternyata terbukti salah secara nyata, maka dugaan itu tidak punya nilai hukum.
Dalam Islam, zhan (dugaan kuat) bisa dijadikan dasar hukum bila tidak ada keyakinan (yaqin) dan tidak ada bukti sebaliknya, tetapi jika ternyata dugaan tersebut terbukti salah secara nyata (bayyin khaṭa’uhu), maka tidak boleh dipakai sebagai hujjah. Kaidah menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menetapkan hukum dan tidak membenarkan keputusan yang berdasar pada prasangka yang terbukti salah. Intinya: Jika ternyata dugaan yang dijadikan dasar hukum itu salah secara nyata, maka harus ditinggalkan dan tidak bisa dijadikan pegangan.

Contoh Penerapannya :
Saksi yang Keliru:
Seorang saksi mengira bahwa ia melihat si A mencuri, lalu terbukti bahwa si A berada di tempat lain saat kejadian → kesaksiannya gugur karena zhan-nya terbukti salah.
Penetapan Warisan:
Dulu ditetapkan bahwa seseorang meninggal dunia berdasarkan dugaan kuat. Setelah pembagian warisan, ternyata ia masih hidup → keputusan sebelumnya dibatalkan.
Ijma' atau Fatwa Berdasarkan Informasi Salah:
Jika ulama berijtihad atau sepakat berdasarkan informasi yang keliru, dan kekeliruannya terbukti → fatwa atau ijma' tidak berlaku.

25.
Lā Ḍarara wa Lā Ḍirār

Lā Ḍarara wa Lā Ḍirār ( لا عِبْرَةَ بِالظَّنِّ الْبَيِّنِ خَطَؤُه artinya : “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.”
Ḍarar (ضَرَر ): Merugikan atau membahayakan pihak lain secara tidak langsung, baik disengaja maupun tidak. Ḍirār (ضِرَار ): Membalas kerugian dengan sengaja merugikan kembali, atau tindakan yang bersifat balas dendam yang tidak adil.
Prinsip Hukum yang Dihasilkan dari kaidah ini adalah Segala bentuk hukum, tindakan, atau kontrak yang mengakibatkan bahaya atau kerugian, dapat dibatalkan atau dilarang. Kaidah ini bermakna bahwa Islam melarang segala bentuk perbuatan yang merugikan, baik:

-
Merugikan diri sendiri.
-
Merugikan orang lain
-
Melakukan kerugian balasan yang tidak adil.

Contoh Penerapannya :
Larangan Menjual Barang Rusak:
Menjual barang cacat tanpa memberi tahu pembeli adalah bahaya tersembunyi → dilarang.
Membuka Usaha yang Mengganggu Tetangga:
Misalnya membuka pabrik bising atau berbau di lingkungan pemukiman → dilarang karena menimbulkan ḍarar.
Penggunaan Hak Milik Secara Merugikan:
Misalnya membangun tembok tinggi agar cahaya tetangga tertutup → termasuk ḍirār.
Perusakan Balasan:
Tidak boleh merusak harta orang lain hanya karena harta kita dirusak → dilarang karena balasan tidak adil.

26.
Al-Ḥukmu Yadūru Ma‘a al-‘Illati Wujūdan wa ‘Adaman

Al-Ḥukmu Yadūru Ma‘a al-‘Illati Wujūdan wa ‘Adaman ( الحُكْمُ يَدُورُ مَعَ العِلَّةِ وُجُودًا وَعَدَمًا artinya : “Hukum itu berputar bersama ‘illatnya (sebab hukumnya), ada dan tidaknya.”
Kaidah ini merupakan prinsip ushul fiqh yang menjelaskan hubungan antara hukum dan sebab (‘illat). Dalam bahasa sederhana, artinya suatu hukum akan berlaku jika ‘illat-nya (sebabnya) ada, dan tidak berlaku jika ‘illat-nya tidak ada. ‘Illah (العلة): Alasan rasional atau sebab yang menjadi dasar penetapan suatu hukum syar’i. Misalnya: safar (bepergian jauh) adalah ‘illat bagi keringanan shalat.
Kaidah ini menjadi landasan utama dalam menghubungkan hukum-hukum syar’i dengan realitas dan perubahan zaman, serta memperlihatkan fleksibilitas hukum Islam dalam merespons berbagai kondisi kehidupan manusia.
Contoh Penerapannya :

Qashar (meringkas) Shalat dalam Safar:

-
Jika seseorang sedang safar, ia boleh mengqashar shalat.
-
Tapi jika ia sudah tidak safar, maka tidak boleh qashar lagi.

Karena ‘illat (safar) ada, maka hukum boleh qashar berlaku. Jika ‘illat hilang, hukum pun tidak berlaku.

Larangan Minum Khamr:

-
Hukum haram karena ‘illat-nya adalah memabukkan.
-
Jika suatu zat tidak memabukkan, maka tidak termasuk khamr.

Zakat Pertanian:

-
Zakat hanya diwajibkan jika hasil pertanian mencapai nisab dan jenis makanan pokok.
-
Jika ‘illat-nya tidak terpenuhi, zakat tidak wajib.