Hadits➡️ Derajat Hadits

Derajat hadis adalah istilah dalam ilmu hadis yang menunjukkan tingkat keotentikan atau keshahihan suatu hadis. Derajat hadis ditentukan berdasarkan kajian yang mendalam terhadap sanad (rantai perawi) dan matan (isi teks hadis). Ilmu yang membahas ini dikenal sebagai 'Ilmu Musthalah al-Hadis atau 'Ilmu Dirayah al-Hadis.

1.
Tujuan Penilaian Derajat Hadis.

Tujuan utama penentuan derajat hadis adalah untuk:

a.
Memastikan apakah hadis benar-benar berasal dari Nabi Muhammad ﷺ.<
b.
Mengetahui apakah hadis bisa dijadikan dasar hukum dalam Islam.

2.
Kriteria Penilaian Derajat Hadis.

Penilaian derajat hadis bergantung pada lima aspek utama:

a.
Sanad bersambung (ittishal al-sanad): Tidak ada perawi yang hilang dalam rantai sanad.
b.
Perawi adil: Perawi adalah seorang Muslim, baligh, berakal, tidak fasik, dan terjaga kehormatannya.
c.
Perawi dhabit (hafalan kuat): Hafalannya kuat atau memiliki catatan yang valid.
d.
Tidak syadz: Tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat.
e.
Tidak mengandung ‘illah: Tidak terdapat kecacatan tersembunyi.
3.
Derajat/Tingkatan Hadits Berdasarkan Kualitasnya.

Berdasarkan kualitas sanad dan perawinya, hadits dapat digolongkan menjadi tiga tingkatan yakni shahih, hasan, dan dhaif.

a.
Hadits shahih.

Shahih (صحيح ) artinya: sehat, benar, valid, tidak cacat. Hadis shahih adalah hadis yang sanad-nya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith, tanpa cacat (‘illah) dan tidak syadz.

1).
Macam-Macam Hadits Shahih.

a).
Shahih li dzatihi (صحيح لذاته )

Hadis yang memenuhi kelima syarat secara sempurna tanpa bantuan jalur lain.
🔹 Contoh:
Hadis “Innamal a‘malu binniyat...”
(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab)

b).
Shahih li ghairihi (صحيح لغيره )

Hadis yang asalnya hasan, tapi dikuatkan oleh jalur lain, sehingga naik derajatnya menjadi shahih.
🔹 Contoh:
Hadis yang diriwayatkan oleh perawi shaduq (tidak sempurna dhabith) namun ada mutaba‘at (jalur pendukung).

2).
syarat-syarat hadis shahih :

Hadits shahih harus memenuhi seluruh dari 5 kriteria yaitu 1. Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad), 2. Moralitas para perawinya baik (’adalah al-ruwwat), 3. Intelektualitas para perawinya mumpuni (dhabt al-ruwwat), 4. Tidak janggal (’adam al-syudzudz) dan 5. Tidak ada cacat (’adam al-’illah).

a).
syarat-syarat hadis shahih.

i.
Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad) ( اتصال السند )

Sanad hadis harus tersambung tanpa terputus, artinya setiap perawi dalam rantai sanad harus mendengar langsung dari perawi sebelumnya.
🧩 Contoh:
A berkata: “Saya mendengar dari B”, B berkata: “Saya mendengar dari C”, sampai ke Nabi ﷺ.
❗ Jika sanad terputus:
❌ Hadis disebut mu‘allaq (putus dari awal sanad);
❌ munqathi‘ (putus di tengah);
❌ mursal (tabi‘in meriwayatkan langsung dari Nabi);
❌ atau mu‘dhal (dua perawi atau lebih hilang berurutan);
❌ Semua bentuk ini menyebabkan hadis tidak shahih;

ii.
Moralitas para perawinya baik (’adalah al-ruwwat) ( عدالة الراوي )

Perawi harus memiliki sifat ‘adalah, yakni :

a.
seorang Muslim;
b).
baligh;
c).
berakal;
d).
menjaga kehormatan diri (muru’ah); dan
e).
tidak dikenal sebagai pelaku dosa besar atau terus-menerus dosa kecil.

Jika perawi tidak ‘adil → hadis dha‘if atau maudhu‘ (palsu).

iii.
Intelektualitas para perawinya mumpuni (dhabt al-ruwwat) (ضبط الراوي )

Perawi harus memiliki kemampuan hafalan atau pencatatan yang kuat dan akurat, baik saat meriwayatkan langsung (ضبط صدر ) maupun dari catatan (ضبط كتاب ).
Secara harfiah, dhabt berarti kokoh,kuat dan tepat. Sedang secara istilah adalah kekuatan hafalan perawi terhadap hadis yang diterimanya secara sempurna, mampu menyampaikannya kepada orang lain dengan tepat dan mampu memahaminya dengan baik.
Terdapat dua jenis dhabith yaitu :

a).
Dhabt Shadr ( ضَبْطُ الصَّدْرِ )

Memiliki kekuatan hafalan yang dibuktikan dengan kemampuan melafalkan hadis yang dikuasainya kapanpun;

b).
Dhabt Kitabah ( ضَبْطُ الْكِتَابَةِ )

Menulis dan menjaga catatannya dari kesalahan.

Ciri perawi tidak dhabith:

a).
Terkadang meriwayatkan dengan versi berbeda,
b).
Sering keliru atau tertukar sanad/matan,
b).
Dikenal pelupa berat.

❗ Jika kurang dhabith namun masih bisa diterima maka derajat haditsnya menjadi hadis hasan. Jika terlalu buruk maka derajat haditsnya menjadi hadits dha‘if.

iv.
Tidak Syadz (dhabt al-ruwwat) (عدم الشذوذ )

Hadis tidak boleh menyelisihi riwayat perawi yang lebih tsiqah (kuat) darinya baik dalam sanad maupun dalam matanya.
Ciri-ciri atau tanda-tanda hadits Syadz :

a).
Perawi Shahih Tapi Bertentangan dengan yang Lebih Tsiqah.

Misalnya :
🔶Riwayat A (tsiqah biasa): "Nabi berwudhu tiga kali."
🔶Riwayat B (tsiqah lebih kuat): "Nabi berwudhu dua kali."
➡️ Maka riwayat A dianggap syādz jika menyelisihi riwayat B yang lebih kuat.

b).
Bertentangan dengan Jumhur (Mayoritas Perawi).

ika seorang perawi meriwayatkan sesuatu yang berbeda dari mayoritas perawi tsiqah, maka riwayatnya dianggap syādz.
Misalnya :
🔶7 perawi meriwayatkan "Nabi mengangkat tangan saat takbiratul ihram."
🔶1 perawi tsiqah meriwayatkan "Nabi tidak mengangkat tangan."
➡️ Riwayat yang menyelisihi mayoritas disebut syādz.

c).
Kondisinya Terlihat Shahih Secara Lahir, Tapi Tersimpan Kejanggalan.

Hadis syādz tampak baik secara sanad, tapi ketika diteliti oleh ahli hadis, ada penyelisihan dalam matan atau urutan sanad yang mencurigakan.
❗ Ini membutuhkan keahlian tajam dalam ilmu ‘ilal (cacat tersembunyi).

d).
Perbedaan dalam Matan yang Menimbulkan Pertentangan.

Matan hadis yang bertentangan secara makna dengan hadis yang lebih kuat dan shahih.
Misalnya :
🔶Hadis A: “Puasa hari Arafah menghapus dosa dua tahun.”
🔶Hadis B (lebih kuat): “Puasa hari Arafah menghapus dosa satu tahun.”
➡️ Jika hadis A bertentangan dan tidak bisa ditafsirkan secara harmonis, maka A dianggap syādz.

e).
Tidak Dapat Dikompromikan atau Dijamak.

ika dua riwayat yang bertentangan tidak mungkin dijamak (dikompromikan) atau tidak bisa ditarjih (ditentukan mana yang lebih kuat), maka yang lemah dianggap syādz.

v.
Tidak Ada ‘Illah ( عدم العلة القادحة )

Tidak terdapat cacat tersembunyi (علة خفية ) yang merusak keabsahan hadis. Cacat ini tidak terlihat secara eksplisit, tetapi ditemukan oleh ahli hadis yang sangat mendalam ilmunya.
Cacat dalam periwayatan hadis bisa berupa sanad yang tampak tersambung dan sampai kepada Nabi, namun pada kenyataannya hanya sampai kepada sahabat atau tabi’in. Kecacatan juga bisa juga terjadi berupa kerancuan karena percampuran dengan hadis lain atau kekeliruan dalam menyebutkan nama periwayat yang memiliki kemiripan atau kesamaan dengan periwayat lain yang kualitasnya berbeda.
'illah sebagai suatu kecacatan (yang tersembunyi) yang dapat menjadi penghalang bagi suatu hadis sehingga dapat menyebabkan kualitas atau derajat hadis tersebut jatuh.
Macam-macam 'illah dapat berupa :

1.
Perawi menyambungkan sanad yang sebenarnya mursal.
2.
Hadis dinisbatkan ke Nabi, padahal hanya perkataan sahabat.
3.
Kesalahan dalam matan atau dalam penempatan perawi..

Jika ditemukan ‘illah maka hadis tersebut menajdi tidak shahih meskipun sanadnya tampaknya bagus.

Suatu hadits akan mempunyai derajat atau kualitas shahih apabila memenuhi seluruh dari 5 kriteria tersebut di atas yaitu 1. Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad), 2. Moralitas para perawinya baik (’adalah al-ruwwat), 3. Intelektualitas para perawinya mumpuni (dhabt al-ruwwat), 4. Tidak janggal (’adam al-syudzudz) dan 5. Tidak ada cacat (’adam al-’illah). Apabila salah satu kriteria tidak terpenuhi maka derajat atau kualitas hadis tersebut menjadi tidak shahih tetapi turun menjadi hasan atau dhaif atau bahkan maudhu’ (palsu).
Apabila semua kriteria tersebut terpenuhi tetapi kualitas intelektual personal perawi (dhabt) tidak sebaik yang seharusnya, maka kualitas hadisnya akan menjadi hasan tetapi jika salah satu saja kriteria tersebut tidak terpenuhi maka kualitas atau derajat hadisnya akan menjadi daif (lemah) atau bahkan maudhu’ (palsu).

b.
Hadits Hasan.

Hasan (حسن ) secara bahasa (lughawi) berarti baik, indah, atau bagus.
Secara istilah (istilāḥi) hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil namun kurang dari segi dhabt (ketelitian) dibandingkan hadis shahih, tidak syādz, dan tidak ada ‘illat (cacat tersembunyi).
Derajat hadits hasan berada di bawah level hadits sahih namun demikian beberapa fuqaha (ahli fiqih) tetap memakainya sebagai hujjah dan sumber hukum.

1).
Macam-Macam Hadits Hasan.

a).
Hasan li dzatihi ( حسن لذاته )

Hadis yang sendiri sudah memenuhi semua syarat di atas meskipun dhabt-nya tidak sempurna.
Kualitas cukup kuat, bisa dijadikan hujah sendiri.

b).
Hasan li ghairihi ( حسن لغيره)

Hadis asalnya dha‘if ringan, namun menjadi hasan karena dikuatkan oleh jalur lain (syawahid atau mutaba‘at).
Ini adalah hadis yang naik derajat karena adanya penguat.

2).
Hukum Mengamalkan Hadis Hasan

Ulama sepakat bahwa hadis hasan boleh dijadikan hujah (dalil), baik dalam masalah hukum, akhlak, maupun ibadah.

-
Hadis hasan lebih lemah dibanding shahih, tapi lebih kuat dari dha‘if.
-
Dalam fiqih, hadis hasan sangat banyak digunakan, terutama oleh Imam Abu Dawud, Tirmidzi, dan An-Nasa’i.

c.
Hadits Dhaif.

Secara bahasa (lughawi) Ḍa‘īf (ضعيف ) artinya lemah, tidak kuat, atau rapuh.
Secara istilah (istilāḥi) Hadis ḍa‘īf adalah hadis yang tidak memenuhi syarat hadis shahih maupun hasan, baik karena terputus sanad, perawi tidak adil atau tidak dhabith, terdapat penyimpangan (syādz), atau mengandung cacat (‘illat).

1)
Sebab Hadis Menjadi Ḍa‘īf.

i.
Sanad terputus.

Tidak semua perawi saling bertemu atau menyampaikan langsung.

ii.
Perawi tidak adil.

Perawi fasik, pembohong, atau pelaku bid‘ah.

iii.
Perawi lemah hafalan.

Tidak kuat hafalan, banyak keliru atau bercampur riwayatnya.

iv.
Syādz (penyimpangan).

Menyelisihi riwayat yang lebih kuat.

v.
‘Illat (cacat tersembunyi).

Ada kejanggalan tersembunyi dalam sanad atau matan yang hanya diketahui oleh ahli hadis.

1)
Macam-Macam Hadis Ḍa‘īf.

🔹 - Berdasarkan keterputusan sanad:

i.
Mu‘allaq.

Tidak semua perawi saling bertemu atau menyampaikan langsung.

ii.
Mursal.

Seorang tabi‘in langsung menyandarkan kepada Nabi ﷺ, tanpa menyebut sahabat.

iii.
Munqathi.

Ada perawi yang hilang di tengah sanad.

iv.
Mu‘ḍal.

Dua perawi berturut-turut hilang dalam sanad.

v.
Mudallas.

Perawi menyembunyikan guru sebenarnya (biasanya dengan kata “an”).

🔹 - Berdasarkan kualitas perawi:

i.
Matruk.

Perawi ditinggalkan karena sangat lemah.

ii.
Munkar.

Perawi yang lemah menyelisihi perawi tsiqah.

iii.
Maudu‘ (palsu).

Diciptakan dan dikarang oleh pendusta.

🔹 - Berdasarkan cacat matan:

i.
Mudraj.

Ada sisipan kata yang bukan bagian dari hadis Nabi.

ii.
Maqlub.

Ada susunan kata atau nama perawi yang dibalik.

iii.
Muḍṭarib.

Riwayatnya berbeda-beda dan tidak bisa dikompromikan.

3)
Hukum Mengamalkan Hadis Ḍa‘īf.

a.
Menurut mayoritas ulama.

i.
Tidak boleh dijadikan dalil dalam aqidah dan hukum..

ii.
Boleh diamalkan dalam fadā’il a‘māl (keutamaan amal) dengan syarat:.

a).
Hadis tidak sangat lemah (bukan maudu‘ atau matruk).
b).
Ada dasar umum dari syariat,.
c).
Tidak diyakini sebagai perkataan Nabi secara pasti..

b.
Ulama yang sangat ketat (seperti Imam Bukhari, Muslim, Ibn Hazm).

Menolak penggunaan hadis ḍa‘īf dalam semua keadaan.