Derajat hadis adalah istilah dalam ilmu hadis yang menunjukkan tingkat keotentikan atau keshahihan suatu hadis. Derajat hadis ditentukan berdasarkan kajian yang mendalam terhadap sanad (rantai perawi) dan matan (isi teks hadis). Ilmu yang membahas ini dikenal sebagai 'Ilmu Musthalah al-Hadis atau 'Ilmu Dirayah al-Hadis.
Tujuan utama penentuan derajat hadis adalah untuk:
Penilaian derajat hadis bergantung pada lima aspek utama:
Berdasarkan kualitas sanad dan perawinya, hadits dapat digolongkan menjadi tiga tingkatan yakni shahih, hasan, dan dhaif.
Shahih (صحيح ) artinya: sehat, benar, valid, tidak cacat. Hadis shahih adalah hadis yang sanad-nya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith, tanpa cacat (‘illah) dan tidak syadz.
Hadis yang memenuhi kelima syarat secara sempurna tanpa bantuan jalur lain.
🔹 Contoh:
Hadis “Innamal a‘malu binniyat...”
(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab)
Hadis yang asalnya hasan, tapi dikuatkan oleh jalur lain, sehingga naik derajatnya menjadi shahih.
🔹 Contoh:
Hadis yang diriwayatkan oleh perawi shaduq (tidak sempurna dhabith) namun ada mutaba‘at (jalur pendukung).
Hadits shahih harus memenuhi seluruh dari 5 kriteria yaitu 1. Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad), 2. Moralitas para perawinya baik (’adalah al-ruwwat), 3. Intelektualitas para perawinya mumpuni (dhabt al-ruwwat), 4. Tidak janggal (’adam al-syudzudz) dan 5. Tidak ada cacat (’adam al-’illah).
Sanad hadis harus tersambung tanpa terputus, artinya setiap perawi dalam rantai sanad harus mendengar langsung dari perawi sebelumnya.
🧩 Contoh:
A berkata: “Saya mendengar dari B”, B berkata: “Saya mendengar dari C”, sampai ke Nabi ﷺ.
❗ Jika sanad terputus:
❌ Hadis disebut mu‘allaq (putus dari awal sanad);
❌ munqathi‘ (putus di tengah);
❌ mursal (tabi‘in meriwayatkan langsung dari Nabi);
❌ atau mu‘dhal (dua perawi atau lebih hilang berurutan);
❌ Semua bentuk ini menyebabkan hadis tidak shahih;
Perawi harus memiliki sifat ‘adalah, yakni :
Jika perawi tidak ‘adil → hadis dha‘if atau maudhu‘ (palsu).
Perawi harus memiliki kemampuan hafalan atau pencatatan yang kuat dan akurat, baik saat meriwayatkan langsung (ضبط صدر ) maupun dari catatan (ضبط كتاب ).
Secara harfiah, dhabt berarti kokoh,kuat dan tepat. Sedang secara istilah adalah kekuatan hafalan perawi terhadap hadis yang diterimanya secara sempurna, mampu menyampaikannya kepada orang lain dengan tepat dan mampu memahaminya dengan baik.
Terdapat dua jenis dhabith yaitu :
Memiliki kekuatan hafalan yang dibuktikan dengan kemampuan melafalkan hadis yang dikuasainya kapanpun;
Menulis dan menjaga catatannya dari kesalahan.
Ciri perawi tidak dhabith:
❗ Jika kurang dhabith namun masih bisa diterima maka derajat haditsnya menjadi hadis hasan. Jika terlalu buruk maka derajat haditsnya menjadi hadits dha‘if.
Hadis tidak boleh menyelisihi riwayat perawi yang lebih tsiqah (kuat) darinya baik dalam sanad maupun dalam matanya.
Ciri-ciri atau tanda-tanda hadits Syadz :
Misalnya :
🔶Riwayat A (tsiqah biasa): "Nabi berwudhu tiga kali."
🔶Riwayat B (tsiqah lebih kuat): "Nabi berwudhu dua kali."
➡️ Maka riwayat A dianggap syādz jika menyelisihi riwayat B yang lebih kuat.
ika seorang perawi meriwayatkan sesuatu yang berbeda dari mayoritas perawi tsiqah, maka riwayatnya dianggap syādz.
Misalnya :
🔶7 perawi meriwayatkan "Nabi mengangkat tangan saat takbiratul ihram."
🔶1 perawi tsiqah meriwayatkan "Nabi tidak mengangkat tangan."
➡️ Riwayat yang menyelisihi mayoritas disebut syādz.
Hadis syādz tampak baik secara sanad, tapi ketika diteliti oleh ahli hadis, ada penyelisihan dalam matan atau urutan sanad yang mencurigakan.
❗ Ini membutuhkan keahlian tajam dalam ilmu ‘ilal (cacat tersembunyi).
Matan hadis yang bertentangan secara makna dengan hadis yang lebih kuat dan shahih.
Misalnya :
🔶Hadis A: “Puasa hari Arafah menghapus dosa dua tahun.”
🔶Hadis B (lebih kuat): “Puasa hari Arafah menghapus dosa satu tahun.”
➡️ Jika hadis A bertentangan dan tidak bisa ditafsirkan secara harmonis, maka A dianggap syādz.
ika dua riwayat yang bertentangan tidak mungkin dijamak (dikompromikan) atau tidak bisa ditarjih (ditentukan mana yang lebih kuat), maka yang lemah dianggap syādz.
Tidak terdapat cacat tersembunyi (علة خفية ) yang merusak keabsahan hadis. Cacat ini tidak terlihat secara eksplisit, tetapi ditemukan oleh ahli hadis yang sangat mendalam ilmunya.
Cacat dalam periwayatan hadis bisa berupa sanad yang tampak tersambung dan sampai kepada Nabi, namun pada kenyataannya hanya sampai kepada sahabat atau tabi’in. Kecacatan juga bisa juga terjadi berupa kerancuan karena percampuran dengan hadis lain atau kekeliruan dalam menyebutkan nama periwayat yang memiliki kemiripan atau kesamaan dengan periwayat lain yang kualitasnya berbeda.
'illah sebagai suatu kecacatan (yang tersembunyi) yang dapat menjadi penghalang bagi suatu hadis sehingga dapat menyebabkan kualitas atau derajat hadis tersebut jatuh.
Macam-macam 'illah dapat berupa :
Jika ditemukan ‘illah maka hadis tersebut menajdi tidak shahih meskipun sanadnya tampaknya bagus.
Suatu hadits akan mempunyai derajat atau kualitas shahih apabila memenuhi seluruh dari 5 kriteria tersebut di atas yaitu 1. Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad), 2. Moralitas para perawinya baik (’adalah al-ruwwat), 3. Intelektualitas para perawinya mumpuni (dhabt al-ruwwat), 4. Tidak janggal (’adam al-syudzudz) dan 5. Tidak ada cacat (’adam al-’illah). Apabila salah satu kriteria tidak terpenuhi maka derajat atau kualitas hadis tersebut menjadi tidak shahih tetapi turun menjadi hasan atau dhaif atau bahkan maudhu’ (palsu).
Apabila semua kriteria tersebut terpenuhi tetapi kualitas intelektual personal perawi (dhabt) tidak sebaik yang seharusnya, maka kualitas hadisnya akan menjadi hasan tetapi jika salah satu saja kriteria tersebut tidak terpenuhi maka kualitas atau derajat hadisnya akan menjadi daif (lemah) atau bahkan maudhu’ (palsu).
Hasan (حسن ) secara bahasa (lughawi) berarti baik, indah, atau bagus.
Secara istilah (istilāḥi) hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil namun kurang dari segi dhabt (ketelitian) dibandingkan hadis shahih, tidak syādz, dan tidak ada ‘illat (cacat tersembunyi).
Derajat hadits hasan berada di bawah level hadits sahih namun demikian beberapa fuqaha (ahli fiqih) tetap memakainya sebagai hujjah dan sumber hukum.
Hadis yang sendiri sudah memenuhi semua syarat di atas meskipun dhabt-nya tidak sempurna.
Kualitas cukup kuat, bisa dijadikan hujah sendiri.
Hadis asalnya dha‘if ringan, namun menjadi hasan karena dikuatkan oleh jalur lain (syawahid atau mutaba‘at).
Ini adalah hadis yang naik derajat karena adanya penguat.
Ulama sepakat bahwa hadis hasan boleh dijadikan hujah (dalil), baik dalam masalah hukum, akhlak, maupun ibadah.
Secara bahasa (lughawi) Ḍa‘īf (ضعيف ) artinya lemah, tidak kuat, atau rapuh.
Secara istilah (istilāḥi) Hadis ḍa‘īf adalah hadis yang tidak memenuhi syarat hadis shahih maupun hasan, baik karena terputus sanad, perawi tidak adil atau tidak dhabith, terdapat penyimpangan (syādz), atau mengandung cacat (‘illat).
Tidak semua perawi saling bertemu atau menyampaikan langsung.
Perawi fasik, pembohong, atau pelaku bid‘ah.
Tidak kuat hafalan, banyak keliru atau bercampur riwayatnya.
Menyelisihi riwayat yang lebih kuat.
Ada kejanggalan tersembunyi dalam sanad atau matan yang hanya diketahui oleh ahli hadis.
🔹 - Berdasarkan keterputusan sanad:
Tidak semua perawi saling bertemu atau menyampaikan langsung.
Seorang tabi‘in langsung menyandarkan kepada Nabi ﷺ, tanpa menyebut sahabat.
Ada perawi yang hilang di tengah sanad.
Dua perawi berturut-turut hilang dalam sanad.
Perawi menyembunyikan guru sebenarnya (biasanya dengan kata “an”).
🔹 - Berdasarkan kualitas perawi:
Perawi ditinggalkan karena sangat lemah.
Perawi yang lemah menyelisihi perawi tsiqah.
Diciptakan dan dikarang oleh pendusta.
🔹 - Berdasarkan cacat matan:
Ada sisipan kata yang bukan bagian dari hadis Nabi.
Ada susunan kata atau nama perawi yang dibalik.
Riwayatnya berbeda-beda dan tidak bisa dikompromikan.
Menolak penggunaan hadis ḍa‘īf dalam semua keadaan.