Mandi Besar➡️ Pengertian
Yang Wajib Dan Tidak Wajib Mandi


II.
Hal Yang Mewajibkan Mandi.

1.
Bersetubuh

Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya24 mengemukakan pendapat dari Imam Syafi‟i bahwa arti umum janabah adalah bersetubuh meskipun tidak mengeluarkn mani (tanpa coitus). Setiap orang yang mendengar bahwa si Andi telah dalam keadaan janabah dengan si Ani, akan dimaklumi bahwa mereka telah mengadakan persetubuhan (hubungan kelamin) meskipun tidak sampai “coitus”. Lebih lanjut menurut Syafi‟i: tidak seorangpun yang membantah bahwa tindak pidana perzinaan yang wajib melakukan dera itu ialah yang bersetubuh walau tidak keluar mani. 1)

Seseorang menjadi junub ketikaalatkelaminnyabertemu dengan alat kelamin seorang wanita sekalipun tidak sampai mengeluarkan sperna. Dan disebut melakukan hubungan seksualjika ia memasukkan ujung &akamya ke dalam liang vagina wanita. Oleh karena itu keduanya wajib mandi. 2)

Penyeba:b mandi wajib adalah memasukkan pucuk penis ke dalam kemaluan wanita, keluarnya air mani. 3)

2.
Keluarnya Mani

Keluar Mani yang disertai syahwat, artinya dalam keadaan kondisi sehat, sama adakah pada waktu bersetubuh ataupun pada waktu lainnya, baik di waktu tidur maupun diwaktu bangun atau terjaga, baik terhadap laki-laki maupun terhadap perempuan. Para ahli Fiqh dari golongan Hanabilah menetapkan bahwa kewajiban mandi itu semata-mata disebabkan “keluar mani” tanpa mempertimbangkan apakah keluarnya itu karena persetubuhan, karena ihtilam (mimpi), disengaja ataupun tidak sengaja, karena ciuman, karena penyakit dan atau sejenisnya sehingga keluar dengan sendirinya, karena penganiayaan, tercekek lehernya namun tidak sampai ia menjadi mati.
Oleh karenanya kepadanya diwajibkan mandi; sama adakah keluarnya dengan kenikmatan (disertai syahwat) ataupun tidak. 4)

Entah terjadi ketika tidur atau terjaga, baik itu seorang pria maupun seorang wanita. Ahli Fiqhi, berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan Abi Said. Ia bercerita bahwa Rasulullah saw. Bersabda, الماء من الماء "Mandi (wajib) dilakukan karena mani"
Ada beberapa kasus yang ingin dikemukakan karena memang diperlukan:

a)
Mani yang keluar tidak Karena syahwat, tapi karena penyakit atau kedinginan, tidak mewajibkan mandi.
b)
Seseorang yang mimpi basah namun ketika bangun tidak melihat mani maka ia tidak wajib mandi.
c)
Seseorang yang bangun tidur dan melihat sesuatu yang basah padahal dia tidak ingat kalau dirinya telah mimpi basah, dia punya dua kemungkinan.

Pertama, bila ia yakin bahwa itu mani, ia wajib mandi karena kemungkinan besar yang keluar memang mani karena mimpi basah yang telah dilupakannnya.

Kedua, kalau dia ragu dan tidak tahu apakah itu mani atau bukan, dia juga wajib mandi sebagai bentuk kehati-hatian. 5)

Seseorang menjadi junub ketika ia mengeluarkan sperma, baik karena melakukan hubungan seksual, atau bermimpi, atau onani, atau hanya memandang, atau hanya memikirkan hal-hal yang dapat merangsang gairah seksual. Dalam hal ini berlaku bagi laki-laki dan wanita. 6)

3.
Selesai Haid Dan Nifas

Darah Nifas adalah darah yang keluar menyertai dan mengiringi kelahiran jabang bayi (pasca lahirnya sang jabang bayi); wanita yang kedatangan haid atau nifas menurut kesepakatan Ulama diwajibkan mandi setelah berhentinya darah tersebut. 7)

Wanita yang berhenti darah haid dan nifasnya mengalami hadas besar. Oleh karena itu cara mensucikannya dengan cara mandi sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut:
Dari Aisyah bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, katanya, “Aku mengeluarkan darah istihadlah (penyakit). Apakah aku tinggalkan salat?” Beliau menjawab, “Jangan, karena itu hanyalah darah penyakit seperti keringat. Tinggalkanlah salat selama masa haidmu, setelah itu mandi, dan kerjakanlah salat.” (HR.Bukhari). 8)

4.
Seseorang Yang Baru Masuk Islam

Mengenai orang kafir masuk Islam, Ahli Fiqh Mazhab Maliki dan Hambali mewajibkan mandi bagi setiap orang kafir bila telah masuk Islam, sama adakah ia dalam keadaan junub ataupun tidak. Hal ini karena Rasulullah menyuruh memandikan Qais bin Aşim yang baru menyatakan keislamannya. 9)

Semua ulama fikih sepakat bahwa orang yang baru masuk Islam harus mandi terlebih dahulu. Asumsinya karena mereka selama belum memeluk Islam masih tidak mengetahui cara bersuci, maka ketika memeluk Islam mereka harus mandi untuk membersihkan hadas besar. 10)

Bila orang kafir masuk lslam dan pada saat kafir tidak diwajibkan mandi, ia dianjurkan mandi berdasarkan riwayat bahwa Qois bin Ashim masuk Islam lalu Raaulallah SAW memerintahkannya untuk mandi. ini tidak wajib karena banyak sekali orang-orang kafir muuk Islam namun Rasulullah SAW tidak memerintahkan mereka mandi. Bila ia wajib mandi disaat kafir namun tidak mandi, maka ia berkewajiban mandi meski pada saat masih kafir sudah mandi Permasalahannyaa; apakah ia wajib mandi ulang? Ada dua pendapat dalam bal ini Pertama, ia tidak wajib mandi ulang karena ia sudah maadi secara benar, dalilnya hal tersebut terkait bolehnya berbubungan badan bagi wanita yang haid saat suci,namun iat idak wajib mandi ulang,sama seperti mandi orang muslim.Kedua, ia wajib mandi ulang. Pendapat inl lebih kuat kareaa mandi adalah ibadah mahdhah, sehiagga tidak sah mandi yang dilakukan orang kafir dalam hak Allah SWT, sama seperti puasa dan shalat. 11)

5.
Meninggal Dunia

Apabila seorang Muslim meninggal dunia, maka wajib dimandikan. Hukum wajib ini telah ijma‟ para Ulama. 12) Orang Islam yang meninggal dunia, hukumnya fardu kifayah atas muslim yang hidup untuk memandikannya, kecuali orang yang meninggal dunia itu dalam keadaan syahid. 13)

Dalam kasus ini, mandi wajib ditujukan agar orang yang masih hidup wajib memandikan orang yang mati. Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa memandikan orang mati di sini hukumnya fardu kifayah, artinya jika sebagian orang sudah melakukannya, maka yang lain gugur kewajibannya. 14)

1 Dr. H. Khoirul Abror, M.H., Fiqh Ibadah, hal. 51.

2 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Ibadah, hal. 93.

3 Imam An-Nawawi, Al Majmu' Syarh Al Muhadzdzab, Tahqiq dan Ta'liq Muhammad Najib Al Muthi'i. hal. 231.

4 Dr. H. Khoirul Abror, M.H., Op.cit., hal. 55.

5 Nur Hidayah Al Amin, Lc., M.E.Sy., Khairul Imam, S.H.I., M.Si., Fiqih Ibadah, hal. 55.

6 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Ibadah, hal. 93.

7 Dr. H. Khoirul Abror, M.H., Op.cit., hal. 54.

8 Nur Hidayah Al Amin, Lc., M.E.Sy., Khairul Imam, S.H.I., M.Si., Op.cit., hal. 50.

9 Dr. H. Khoirul Abror, M.H., Op.cit., hal. 57.

10 Nur Hidayah Al Amin, Lc., M.E.Sy., Khairul Imam, S.H.I., M.Si., Op.cit., hal. 40.

11 Imam An-Nawawi, Op.cit. hal. 269.

12 Dr. H. Khoirul Abror, M.H., Op.cit., hal. 56.

14 Nur Hidayah Al Amin, Lc., M.E.Sy., Khairul Imam, S.H.I., M.Si., Op.cit, hal. 41.

15 Dr. H. Khoirul Abror, M.H., Op.cit, hal. 55.