Hal-Hal Yang Membatalkan Wudlu.
Di dalam kitab Taqrib karya Imam Abu Syuja’ (w.593 H) disebutkan bahwa yang termasuk membatalkan wudhu adalah apapun yang keluar dari dua kemaluan (Qubul & Dubur). 1) Keluar sesuatu dari salah satu dua jalan (qubul dan dubur) sama adakah yang keluar itu yang biasa seperti buang air kecil, air besar, buang angin (kentut), mażi, mani, wadi maupun yang tidak biasa, sama adakah berupa benda cair, maupun benda padat. 2)
Di dalam kitab Taqrib karya Imam Abu Syuja’ (w.593 H) disebutkan bahwa yang termasuk membatalkan wudhu adalah hilang akal sebab mabuk, gila, pingsan dll. Dalil yang melandasi hal ini adalah qiyas pada masalah tidur. Orang yang tidur itu tidak sadarkan diri apalagi hilang akal karena mabuk misalnya. Yang sama sama tidak sadarkan diri. Maka wudhunya juga batal. 3)
Menurut mayoritas ulama, menyentuh kemaluan dengan telapak tangan secara langsung tanpa penghalang (seperti kain) adalah membatalkan wudhu, baik dilakukan secara sengaja atau tidak, dan baik dengan syahwat maupun tidak.
Dalil-dalil
🔹 Hadis 1:
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan An-Nasa’i – hadis shahih)
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Man massa dzakarahu falyatawaḍḍa’.
Barang siapa menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia berwudhu.
🔹 Hadis 2:
(HR. Ahmad dan Daruquthni – hadis hasan)
Ketika Nabi ﷺ ditanya oleh seorang laki-laki tentang apakah menyentuh kemaluan membatalkan wudhu, beliau menjawab:
هَلْ هُوَ إِلَّا بَضْعَةٌ مِنْكَ؟
Hal huwa illā baḍ’atun minka?
.“Itu hanyalah bagian dari tubuhmu.”
🔸 Hadis ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu, karena dianggap seperti menyentuh bagian tubuh lainnya.
Namun, hadis “Falyatawadda’” (hendaklah berwudhu) dianggap lebih kuat dan lebih banyak perawinya, sehingga menjadi pendapat yang dipilih mayoritas ulama.
Dikutip dari buku Fiqih Ibadah. 4)
Para Ulama Fiqh, berbeda pendapat dalam hal wajibnya wuḑu' lantaran bersentuhan dengan wanita, baik menggunakan tangan maupun anggota tubuh lainnya; Silang pendapat diantara mereka dikala memahami hakikat ayatnya; ada yang memahami secara hakikat dan ada yang memahami secara majaz (kiasan); ayat yang menjadi dasar pemicu silang pendapat tersebut adalah أَولَمَسْتُمُ النِّسَاءَ (atau kamu menyentuh wanita).
Ulama Hanafiyah memahami ayat tersebut secara majaz, sehingga menurut mereka, jika semata-mata menyentuh kulit wanita tidak membatalkan wuḑu‟; masih menurut Hanafiyah, ayat itu bukan semata-mata bersentuhan melainkan hubungan seksual (bersetubuh); karena kata lamasa bila dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksud adalah bersetubuh; golongan ini mengemukakan dasar Hadis dari
„Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Nisa‟i, Ahmad dan Tarmizi sbb:
عَنْ عائشةَ أَنَّ النَّبَِِّ صَلىَّ اللهُ عليوِ وسلَّمَ كَانَ ي قَُبَّلُ ب عَْضَ أَزْوَاجِوِ ثَُُّ يُصَلىِّ وَلاَي تََ وَضَّأُ. (رواه أبوداوالنساءى والترميذي )
Dari Aisyah bahwa Nabi s.a.w mencium sebagian istri-istri beliau kemudian şalat tanpa mengambil wuḑu lagi.
Hadis ini menunjukan bahwa sekedar mencium atau menyentuh wanita (isteri) tidaklah membatalkan wuḑu‟. Olehkarenanya yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah bersetubuh bukan sekedar menyentuh.
Ulama Hanafiyah memahami ayat tersebut secara majaz, sehingga menurut mereka, jika semata-mata menyentuh kulit wanita tidak membatalkan wuḑu‟; masih menurut Hanafiyah, ayat itu bukan semata-mata bersentuhan melainkan hubungan seksual (bersetubuh); karena kata lamasa bila dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksud adalah bersetubuh; golongan ini mengemukakan dasar Hadis dari „Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Nisa‟i, Ahmad dan Tarmizi sbb:
عَنْ عائشةَ أَنَّ النَّبَِِّ صَلىَّ اللهُ عليوِ وسلَّمَ كَانَ ي قَُبَّلُ ب عَْضَ أَزْوَاجِوِ ثَُُّ يُصَلىِّ وَلاَي تََ وَضَّأُ. )رواه أبوداوالنساءى والترميذي(
Dari Aisyah bahwa Nabi s.a.w mencium sebagian istri-istri beliau kemudian şalat tanpa mengambil wuḑu lagi.
Mazhab Maliki memahami ayat itu secara hakiki, namun menurut mereka menyentuh wanita yang membawa kepada batalnya wuḑu‟ yang apabila memenuhi syarat:
Karenanya tidaklah batal wuḑu' dengan menyentuh gadis kecil yang belum mempunyai nafsu birahi. Alasan Mazhab Maliki ini adalah berdasarkan pada Hadis yang menerangkan bahwa Rasulullah s.a.w pernah mencium istrinya, tetapi beliau tetap melaksanakan şalat; Tentang yang disyaratkan keni‟matan ini, sebagaimana Hadis Nabi s.a.w sbb:
إِنَّ النَّبَِِّ صَلىَّ اللهُ عليوِ وسلَّمَ كَانَ ي لَْمَسُ عَاءِشَةَ عِنْدَ سُجُوْدٍ بِيَدِهِ وَرُبََِّا لَمَسَتْو
Bahwa Nabi s.a.w pernah menyentuh Aisyah ketika beliau sujud dengan tangannya, dan kemungkianan Aisyah juga menyentuh beliau.
Ada lagi Hadis dari „Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmizi yang lafaznya sbb:
عنْ عاَءِشَةَ قَالَتْ: فَ قَدْتُ رسولَ اللهِ صلىَّ الله عليو وسلَّمَ لَيْ لَةً مِنَ الْفِرَاشَ, فَالْتَمَسْتُوُ, فَ وَضَعْتُ يَدَيَّ عَلىَ بَِطِنِ قَدَمَيْوِ وَىُوَ فِِ الْمَسْجِدِ, وَهَُُا مَنْصُوْب تََانِ, وَىُوَ ي قَُوْلُ: اَللَّهُمَّ إِنَّّ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخْطِ ,ََ وَبُِِعَافَاتِ مِنْ عُقُوْبَتِ ,ََ وأَعُوْذُ بِ مِنْ ,ََ لاَأُحْصِى ث نََاءً عَليْ ,ََ كَمَا أَثْ نَ يْتَ عَلىَ ن فَْسِ .َ )رواه مسلم والترمذي(
Artinya: Dari „Aisyah ia berkata: Aku kehilangan Rasulullah pada suatu malam dari tempat tidur, lalu aku menyentuhnya kemudian meletakan tanganku di atas telapak kakinya, sedangkan beliau ditempat sujudnya. Kedua telapak kaki beliau itu ditegakkan, dan beliau berdo‟a Ya Allah aku berlindung dengan riḑamu dari murkamu, dibawah naunganmu dari siksamu, dan aku berlindung denganmu; Aku tidak membatasi sanjungan terhadap engkau sebagaimana engkau menyanjung diri engkau sendiri.
Golongan Syafi'iyah memahaminya secara hakiki; oleh karenanya menurut pendapat mereka menyentuh wanita yang membawa batalnya wuḑu‟, adalah semata-mata menyentuh, sama adakah disertai birahi atau tidak, sengaja atau tidak, demikian juga bagi orang yang mencium wanita terlebih lagi bersetubuh; Lebih lanjut golongan Syafi‟iyah mengemukakan bahwa Hadis „Aisyah di atas bersifat khusus yang hanya berlaku untuk Nabi Muhammad s.a.w.
Jika seseorang tidur nyenyak (tidak merasakan apa yang terjadi di sekitarnya), maka wudhunya batal.
Dalil Hadis:
الْعَيْنُ وَكَاءُ السَّهِ، فَإِذَا نَامَتِ الْعَيْنَانِ اسْتَطْلَقَ الْوَكَاءُ
Al-‘ainu wikā’us-sahh, fa idzā nāmatil-‘aināni istatlaqal-wikā’.
“Mata adalah pengikat dubur. Jika kedua mata tidur, maka lepaslah pengikat itu.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)
1 Muhammad Ajib, Lc., MA., Fiqih Wudhu Versi Madzhab Syafi’iy, hal. 29.
2 Dr. H. Khoirul Abror, M.H., Fiqih Ibadah, hal. 42.
3 Muhammad Ajib, Lc., MA., Op.cit, hal. 31.
4 Dr. H. Khoirul Abror, M.H., Fiqih Ibadah, hal. 17-20.