Wudlu➡️ Rukun Wudlu

Rukun Wudlu.

Surah al-maidah ayat 6 telah menetapkan rukun wudlu.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ٦

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Dari Surah Almaidah ayat 6 tersebut, dapat kita kita ketahui bahwa rukun wudlu terdiri dari : (1) membasuh muda, (2) membasuh tangan sampai siku, (3) menyapu (mengusap) kepala dan (4) membasuh kaki sampai kedua belah mata kaki.

Dikutip dari buku Fiqih Thaharah, Ahmad Sarwat, Lc., 1). Para ulama berbeda pendapat ketika menyebutkan rukun wudhu. Ada yang menyebutkan 4 saja sebagaimana yang tercantum dalam ayat Quran, namun ada juga yang menambahinya dengan berdasarkan dalil dari Sunnah.

Mazhab Hanafi Menurut Al-Hanafiyah mengatakan bahwa rukun wudhu itu hanya ada 4 sebagaimana yangdisebutkan dalam nash Quran.

Mazhab Maliki Menurut Al-Malikiyah rukun wudhu’ itu ada delapan, yaitu dengan menambahkan dengan keharusan niat, ad-dalk yaitu menggosok anggota wudhu`. Sebab menurut beliau sekedar mengguyur anggota wudhu` dengan air masih belum bermakna mencuci atau membasuh. Juga beliau menambahkan kewajiban muwalat.

Mazhab Syafi’i Menurut As-Syafi`iyah rukun wudhu itu ada 6 perkara. Mazhab ini menambahi keempat hal dalam ayat Al-Quran dengan niat dan tertib yaitu kewajiban untuk melakukannya pembasuhan dan usapan dengan urut, tidak boleh terbolak balik. Istilah yang beliau gunakan adalah harus tertib.

Mazhab Hambali. Menurut mazhab Al-Hanabilah jumlah rukun wudhu ada 7 perkara, yaitu dengan menambahkan niat, tertib dan muwalat, yaitu berkesinambungan. Maka tidak boleh terjadi jeda antara satu anggota dengan anggota yang lain yang sampai membuatnya kering dari basahnya air bekas wudhu`.

1.
Niat.

Asy-Syirazi berketa, (Bersuci dari hedrb seperti wudhu, mandi dan tayammum tidak seh tenpe niet berdasarkan sabda Rasulullah SAW إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى sesangguhnya amalan-amatai' itu tergantung niat dan sesanggahnya sctiop orang itu mendapatkon yang diniatkan. Disamping itu, kerene bersuci dari hadats adalah ibadah mahdhah yang dilakukan melalui prektek sehingga tidek sah tnnpa niat seperti shalat.
Abu Hanifah dan Sufyan Tsauri berpendapat wudhu dan mandi sah hukumnya tanpa niat tapi tayamum tidak sah tanpa niat ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Al Auza'i. Dalil yang mereka gunakan adalah firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.(Qs. Al Maa'idah [5]) 2)

Niat yang dimaksud disini adalah: cetusan hati (kesengajaan dalam hati) untuk mengerjakan suatu perbuatan yang berangkai dengan awal perbuatan itu.
Niat adalah amalan hati dan hanya Allah yang mengetahuinya. Niat itu tempatnya di dalam hati dan bukanlah di lisan, hal ini berdasarkan ijma‟ (kesepakatan) para ulama sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Abdul Harim Abul Abbas Al Haroni dalam Majmu‟ Fatawanya.
Setiap orang yang melakukan suatu amalan pasti telah memiliki niat terlebih dahulu. Karena tidak mungkin orang yang berakal yang punya ikhtiar (pilihan) melakukan suatu amalan tanpa niat. Seandainya seseorang disodorkan air kemudian dia membasuh kedua tangan, berkumur-kumur hingga membasuh kaki, maka tidak masuk akal jika dia melakukan pekerjaan tersebut, yaitu berwuḑu tanpa niat. Sehingga sebagian ulama mengatakan,”Seandainya Allah membebani kita suatu amalan tanpa niat, niscaya ini adalah pembebanan yang sulit dilakukan.”
Niat tempatnya di hati tidak perlu diucapkan.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:

وَالنِّيَّةُ مَََلُّهَا الْقَلْبُ بِِتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ ن وََى بِقَلْبِوِ وَلََْ ي تََكَلَّمْ بِلِسَانِوِ أَجْزَأ تْوُ النِّيَّةُ بِِتِّفَاقِهِمْ

“Dan niat tempatnya di hati, menurut kesepakatan para ulama, jika berniat dalam hatinya dan tidak diucapkan dengan lisannya cukup/sah sebagai niat menurut kesepakatan mereka.”

Berikut keterangan an-Nawawi:

النية في جميع العبادات معتبرة بِلقلب ولا يكفي فيها نطق اللسان مع غفلة القلب ولايشترط ولا يضر مخالفتو القلب كمن قصد بقلبو الظهر وجرى لسانو بِلعصر انعقدظهره

Niat dalam semua ibadah yang dinilai adalah hati, dan tidak cukup sebatas ucapan lisan sementara hatinya tidak konsentrasi.
Tidak disyaratkan harus dilafazkan, dan tidak masalah jika ucapan lisan berbeda dengan hatinya. Sebagaimana orang berniat dengan hatinya untuk salat zuhur, namun terucap di lisannya salat asar, maka yang dinilai adalah zuhurnya. 3)

2.
Membasuh Muka.

Para Ulama telah sepakat bahwa membasuh muka itu, pada dasarnya adalah: farḑu dalam wuḑu‟. Perintah membasuh muka terdapat dalam Q.S. 5 Al-Mȃidah: 5 فَاغْسِلوُا وُجُوْىَكُمْ Artinya: maka basuhlah mukamu.
Yang dimaksud dengan (batas) muka adalah daerah yang berada ditepi dahi sebelah atas sampai tepi bawah dagu, dan dari centil (pinggir) telinga kanan sampai centil telinga kiri; dan membasuh muka hanyadiwajibkan satu kali saja, sedangkan untuk penyempurnaannya sampai tiga kali hukumnya sunnah. 4)

Para ulama menetapkan bahwa batasan wajah seseorang itu adalah tempat tumbuhnya rambut (manabit asy-sya'ri) hingga ke dagu dan dari batas telinga kanan hingga batas telinga kiri. 5)

Batasan wajah adalah bagian atas kening tempat tumbuhnya rambut sampai bagian dagu. Bagi yang punya jenggot tipis wajib meratakan air ke bagian luar dan dalam jenggot. Namun jika jenggotnya lebat maka cukup bagian luarnya saja yg terkena air. Kemudian dari bagian telinga kanan sampai telinga yang kiri. Semua yang disebutkan ini harus terkena basuhan air. 6)

Yang dimaksud dengan (batas) muka adalah daerah yang berada ditepi dahi sebelah atas sampai tepi bawah dagu, dan dari centil (pinggir) telinga kanan sampai centil telinga kiri; dan membasuh muka hanya diwajibkan satu kali saja, sedangkan untuk penyempurnaannya sampai tiga kali hukumnya sunnah. 7)

3.
Membasuh Kedua Tangan Sampai Siku.

Tidak ada aturan khusus cara membasuhnya. Boleh dari ujung jari kemudian kearah siku atau juga sebaliknya dari siku menuju ujung jari tangan. Yang terpenting adalah meratakan air pada kedua tangan. 8) Hingga sikut di sini berarti sikutnya termasuk bagian yang dibasuh. 9)

Dasar ditetapkannya farḑu yang ketiga ini adalah firman Allah:وَاَيْدَيِكُمْ اِلىَ الْمَرَافِقِ Dan (basuhlah) tanganmu beserta siku tanganmu. Siku yang dimaksud disini, adalah batas engsel yang meng-hubungkan lengan dengan tangan; atau pertemuan antara lengan dengan pergelangan. Arti dari ilal marafiq disini, adalah berarti ma’al marafiq, yakni beserta siku; jadi, wajib membasuh beserta sikunya dan dalam membasuh tangan disini juga hendaknya seluruh kulit tangan beserta sikunya basah dengan air, apabila seseorang yang memakai cincin atau gelang perlu menggerak-gerakkannya agar jari dan pergelangannya tidak tersisa dari kulit yang tidak terkena air. 10)

4.
Mengusap (Menyapu) Kepala.

Para ulama Syafi’iyah membolehkan usapan sebagian kepala walaupun hanya beberapa rambut saja yang kena usapan. Tidak harus semua kepala diusap semua. 11) Mengusap disini berarti bahwa kita hanya menggunakan tangan yang basah, tidak mengguyurkan air. Cara mengusap yang benar adalah dengan mengusap seluruh bagian kepala dengan kedua tangan yang basah. 12)

Maksudnya adalah mengusap kepala dengan tangan yang dibasahi air; dan pengertian mengusap kepala disini tidaklah diharuskan seluruh kepala, melainkan sebagiannya saja sudah cukup, karena “ba” pada “biruusikum”, adalah littab‟iḑ (untuk sebagian). Hadiś yang mengutarakan tentang menyapu kepala cukup sebagiannya, adalah hadiś yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Al- Mughirah sbb:

أَنَّ النَّبَِِّ صَلىَّ اللهُ عليوِ وسلَّمَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِوِ وعَلىَ الْعِمَامَةِ وَالَْْفَّنٌِ. (رواه البخاري, ومسلم)

Artinya: “Sesungguhnya Nabi s.a.w berwuḑu‟, maka mengusap ubun-ubunnya dan lalu menyapu surbannya juga beliau menyapu atas dua khufnya”.
Kepala yang dimksud adalah yang biasa ditumbuhi rambut, mulai dari atas dahi sampai pada tengkuk (bagian belakang kepala).
Jika rambut tidak ada, maka cukup menyapu kulit kepala saja, karena hal itu dipandang sebagai pengganti rambut.
Golongan Syafi'iyah berpendapat wajib menyapu sebagian kepala sekalipun hanya sehelai rambut; Sedangkan membasuhnya dibolehkan, karena membasuh itu tercakup didalamnya menyapu. Lebih lanjut golongan syafi‟yah membolehkan meletakkan tangan di atas kepala walaupun sekedar menempelkan, karena yang dituju dari menyapu adalah membasahkan kepala. 13)

5
Membasuh Kaki Sampai kedua Mata Kaki.

Termasuk yang harus dibasuh adalah tumitnya yang sering disepelekan banyak orang dalam berwudhu. 14) Bukan mengusap kaki beserta kedua mata kaki, melainkan membasuh kaki dengan sempurna beserta kedua mata kaki. 15)

6
Tertib.

Tertib dalam mengerjakan wuḑu‟ (pelaksanaan wuḑu‟) itu, dimaksud untuk mensucikan anggota tubuh satu persatu sesuai dengan urutannya sebagaimana dikehendaki dalam Al-Qur‟an; yaitu diawali dengan membasuh muka, kedua tangan, menyapu kepala dan diakhiri dengan membasuh kaki . Hal ini juga didukung oleh Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Al-Nasȃ‟i dari Jabir bin Abdillah sbb:

عَنْ حَابِرِ بْنَ عَبْدِ اللهِ قَاَلَ النَّبُِِّ صَلىَّ اللهُ عليوِ وسلَّمَ قَالَ: إِبْدَؤُا بَِِا بَدَأَ اللهُ بِوِ. رواه النسآئ

Artinya: dari Jabir bin Abdillah, Nabi s.a.w bersabda: mulailah dengan apa yang telah dimulai oleh Allah dengannya. 16)

1 Ahmad Sarwat, Lc., Fiqih Thaharah, hal. 127-128.

2 Imam An-Nawawi, AL MAJMU'[syarah Al Muhadzdzab], Tahqiq dan Ta'liq: Muhammad Najib Al Muthi'i Buku I, Pembahasan Tentang: Thaharah, Pustaka Azzam, hal. 630.

3 Dr. H. Khoirul Abror, M.H., Fiqih Ibadah, hal. 36-38.

4 Dr. H. Khoirul Abror, M.H., Ibid., hal. 40.

5 Ahmad Sarwat, Lc., Op.cit, hal. 129.

6 Muhammad Ajib, Lc., MA., Fiqih Wudhu Versi Madzhab Syafi’iy, hal. 11.

7 Dr. H. Khoirul Abror, M.H., Op.citt, hal. 40.

8 Muhammad Ajib, Lc., MA., Op.cit, hal. 12.

9 Abdullah Haidir, Fiqih Thaharah, hal. 48.

10 Dr. H. Khoirul Abror, M.H., Fiqih Ibadah, hal. 40.

11 Muhammad Ajib, Lc., MA., Op.cit, hal. 13.

12 Abdullah Haidir, Fiqih Thaharah, hal. 49.

13 Dr. H. Khoirul Abror, M.H., Op.cit, hal. 41-42.

14 Abdullah Haidir, Op.cit, hal. 52.

15 Dr. H. Khoirul Abror, M.H., Op.cit, hal. 42.

16 Dr. H. Khoirul Abror, M.H., Op.cit.