Puasa➡️ Pengertian

Perintah Puasa
oleh : Isman.


1.
Ayat-Ayat Berkenaan Dengan Puasa

Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah Ayat 183 :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ١٨۳

yaa ayyuhaa alladziina aamanuu kutiba ‘alaykumu alshshiyaamu kamaa kutiba ‘alaa alladziina min qablikum la’allakum tattaquuna.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah Ayat 184 :

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ١٨٤

ayyaaman ma’duudaatin faman kaana minkum mariidhan aw ‘alaa safarin fa’iddatun min ayyaamin ukhara wa’alaa alladziina yuthiiquunahu fidyatun tha’aamu miskiinin faman tathawwa’a khayran fahuwa khayrun lahu wa-an tashuumuu khayrun lakum in kuntum ta’lamuuna.
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah Ayat 185 :

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ١٨٥

Shaḥru Ramaḍāna allażī unzila fīhil-qur`ānu hudal lin-nāsi wa bayyinātim minal-hudā wal-furqān, fa-man shahida minkumuş-shahra falyasum-h, wa man kāna marīḍan au 'alā safarin fa'iddatum min ayyāmin ukhar, yurīdul-lāhu bikumul-yusra wa lā yurīdu bikumul-'usra wa litukmilul-'iddata wa litukabbirullāha 'alā mā hadākum wa la'allakum tasykurūn..
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah Ayat 187 :

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ ١٨٧

Uḥilla lakum laylataṣ-ṣiyāmi r-rafaṡu ilā nisā`ikum, hunna libāsul lakum wa antum libāsul lahunna, 'alima-llāhu annakum kuntum takhtānūna anfusakum fatāba 'alaikum wa 'afā 'ankum, fal-āna bāsyirūhunna wabtaghū mā kataba-llāhu lakum, wa kulū wasyrabū ḥattā yatabayyana lakumul-khaiṭul-abyaḍu minal-khaiṭil-aswadi minal-fajr, ṡumma atimmuṣ-ṣiyāma ilal-lail, wa lā tubāsyirūhunna wa antum 'ākifūna fil-masājid, tilka ḥudūdu-llāh fa-lā taqrabūhā, kadhālika yubayyinu-llāhu āyātihi lin-nāsi la'allahum yattaqūn.
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri´tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Dari Firman Allah dalam surah Al-Baqarah Ayat 183 di atas, dapat kita tarus inti kandungannya sebagai berikut :

1.
Perintah Puasa Pada Bulan Ramadhan

Allah memerintahkan puasa Ramadhan kepada orang-orang yang beriman sebagai kewajiban fardhu.

2.
Puasa juga telah diperintahkan kepada umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad

Puasa juga diwajibkan kepada umat-umat terdahulu, seperti Bani Israil. Hal ini menunjukkan bahwa puasa adalah ibadah yang universal.

3.
Tujuan Puasa Supaya Bertaqwa.

Tujuan utamanya adalah untuk menumbuhkan ketakwaan kepada Allah (لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ) – artinya menjaga diri dari segala yang dilarang, baik secara lahir maupun batin.

Dari Firman Allah dalam surah Al-Baqarah Ayat 184 di atas, dapat kita tarik inti kandungannya sebagai berikut :

1.
Waktu puasa ditetapkan dalam hari-hari tertentu

Menunjukkan puasa Ramadhan dilakukan selama jumlah hari tertentu (30 atau 29 hari).

2.
Keringanan bagi yang sakit dan musafir (dalam perjalanan)

Orang yang tidak mampu berpuasa karena sakit atau bepergian, boleh tidak berpuasa, tetapi wajib mengganti (qadha’) di hari lain.

3.
Membayar Fidyah bagi yang tidak mampu puasa secara permanen

Orang yang sangat berat berpuasa (misalnya orang tua renta atau sakit menahun), boleh tidak berpuasa dan sebagai gantinya memberi makan seorang miskin (fidyah).

4.
Anjuran berbuat kebaikan secara sukarela

Jika seseorang melakukan lebih dari yang wajib, misalnya memberi makan lebih dari satu orang miskin, itu lebih baik.

5.
Menunjukkan keutamaan puasa

Meskipun ada keringanan, puasa tetap lebih baik bagi mereka yang mampu karena mengandung nilai ruhani dan pahala besar.

Dari Firman Allah dalam surah Al-Baqarah Ayat 185 di atas, dapat kita tarus inti kandungannya sebagai berikut :

1.
Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an

Menyatakan kemuliaan Ramadhan karena merupakan bulan turunnya Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan.

2.
Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan

Bagi siapa saja yang menyaksikan bulan Ramadhan (berada di tempat dan tidak berhalangan) maka wajib baginya untuk berpuasa.

3.
Keringanan bagi orang sakit dan musafir

Diberi dispensasi untuk tidak berpuasa, tetapi wajib menggantinya di hari lain.

4.
Islam adalah agama yang memberi kemudahan

Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan, menunjukkan bahwa syariat Islam penuh rahmat dan toleransi.

5.
Perintah menyempurnakan jumlah puasa

Menyempurnakan hitungan hari puasa Ramadhan meskipun tertunda karena sakit atau safar.

6.
Anjuran untuk bertakbir dan bersyukur

Setelah Ramadhan, umat Islam dianjurkan mengagungkan Allah (bertakbir) sebagai bentuk syukur atas petunjuk yang telah diberikan.

Dari Firman Allah dalam surah Al-Baqarah Ayat 187 di atas, dapat kita tarik inti kandungannya sebagai berikut :

1.
Dibolehkannya hubungan suami-istri di malam hari Ramadhan

Allah menghalalkan hubungan suami-istri selama malam hari bulan Ramadhan, yang sebelumnya dianggap dilarang karena kekeliruan pemahaman.

2.
stri dan suami adalah pakaian bagi satu sama lain

Ungkapan ini menekankan hubungan yang penuh keintiman, pelindung, dan saling melengkapi antara suami dan istri.

3.
Allah Maha Pengampun terhadap kekeliruan masa lalu

Allah mengampuni kekhilafan sebagian sahabat yang melanggar larangan dengan berhubungan di malam hari sebelum turunnya ayat ini, dan menerima tobat mereka.

4.
Batas dimulainya puasa adalah sejak fajar

Makan dan minum diperbolehkan sampai terlihat jelas fajar (benang putih dari benang hitam).

5.
Puasa disempurnakan hingga malam

Artinya puasa dimulai dari fajar hingga terbenam matahari (malam hari), bukan sepanjang 24 jam.

6.
Larangan hubungan suami-istri saat i’tikaf

Bagi orang yang beri’tikaf di masjid, haram melakukan hubungan suami-istri selama masa i’tikaf.

7.
Menjaga batas-batas (hudud) Allah

Larangan dan perintah ini termasuk dalam batas-batas syariat yang tidak boleh dilanggar oleh kaum mukminin.

8.
Tujuan akhir: Takwa

Semua hukum dan ketentuan Allah ini dijelaskan agar manusia menjadi bertakwa.

2.
Pengertian Puasa

Makna shaum (berpuasa) menurut etimologi batrasa adalah: menahan, dan menghindarkan perpindatran dari suatu keadaan ke keadaan lainnya Ada pula yang menyebut orang yang tidak berbicara dengan shaum,kwenaia telah menahan dirinya untuk tidak berbicara Di dalamAl Qur' an disebutkan ucapan dari Maryam, إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْ "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah" (QS.Maryam [19]:26) Yakni berpuasa untuk diam dan tidak berbicara kepada siapapun.

Sementara kata shaum juga bermakna diamnya angin, yakni karena angin tengah menahan diri dari hembusannya. Kata ini digunakan juga pada hewan yang sedang diam, karena ia terikat oleh tali yang mengekangnya. Sedangkan ungkapan hari sedang shaum, maka artinya cuaca pada hari itu sedang biasa saja tidak terlalu terik dan tidak juga terlalu sejuk. Sedangkan jika dipergunakan untuk matatrari maka maknanya matahari itu sedang menyengat, karena ia terletak tepat di atas kepala.

Adapun makna shaum menurut syariat (menunrt terminologi para ulama) adalah: menahan diri dari hal-hal yang membatalkan dengan menyertakan niat, yang dimulai dari terbitrya fajar hingga terbenamnya matahari. Kemudian disempurnakan dengan menjauhi hal-hal yang dilarang, dan tidak melakukan hal-hal yang diharamkan. Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan yang mungkar (misalnya berbohong atau juga berghibah), dan melakukan perbuatan yang mungkar (berbuat dosa lainnya), maka Allah tidak akan memperdulikan rasa haus dan lapar yang dirasakannya (puasa). ) 1. Imam Al Qurthubi., Tafsit Al Qurthubi, Jilid 2. Ta'liq : Dr: Muhammad lbrahim Al Hifnawi, Takhrij : Mahmud Hamid Utsman., hal. 625-626.

Syaikh Hasan Ayyub dalam bukunya Fikih Ibadah, memberikan pengertian puasa adalah Puasa menurut pengertian bahasa ialah; Menahan diri dan menjauhi dari segala sesuatu yang bisa membatalkan, secara mutlak. Kalimat Shama fulan anil kalam, au anil laghwi, au anil bathil , au anizzur, au anil akli, au anisy-syurbi, yang berarti; Si fulan itu menahan diri atau menjauhi diri dari omongan, atau dari main-main, atau dari kebatilan, atau dari kedustaan, atau dari makan, atau dari minum. Dengan kata lain, ia tidak mau melakukan semua itu.
Adapun menurut pengertian syariat, puasa adalah; Menahan diri dari sesuatu yang dianggap dapat membatalkan, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat puasa, oleh orang muslim yang berakal dan tidak sedang mengalami haid atau nifas. ) 2. Syaikh Hasan Ayyub., Fikih Ibadah., hal. 603-604.

Lafazh "shaum" dan "shiyam" menurut pengertian bahasa (etimologi) berarti "menahan".Sedangkan menurut pengertian syariat (terminorogi) berarti menahan dalam pengertian yang khusus, pada masa tertentu, terhadap hal-hal tertentu disertai syarat-syarat yang telah ditentukan.
Penulis kitab Al Muhkam mengatakan, bahwa shaum adalah meninggalkan makan, minum, senggama dan bicara. Bentuk mashdar (indefinit -ed.) kata "shaama" bisa "shaum" dan bisa pula "shiyaam". Semenara menurut Ar-Raghib, arti dasar kata shaum adalah menahan diri dari melakukan sesuatu. oleh sebab itu, kuda yang ditahan sehingga tidak dapat berjalan dinamakan dengan,,Shaa'im, Sedangkan menurut makna syar'i, "shaum, adalah menahan diri [mukallaf] dari makan, minum, masturbasi dan muntah disertai niat sejak fajar hingga maghrib. ) 3. Ibnu Hajar Al-Asqalani., Fathul Baari, Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari, Jilid 11, Penerjemah : Ghazirah Abdi Ummah., hal. 2.",

Imam An-Nawawi dalam Al Majmu’Syarh Al Muhadzdza mengatakan Secara etimologi ash-shiyam berarti menahan, kata ini digunakan dalam segala bentuk menahan, dikatakan: Shaama berarti diam (menahan diri), dan shaamat al khail berarti kuda berhenti (menahan perjalanan). Sedangkan secara terminologi ash-shiyam berarti menahan secara khusus dari sesuatu yang khusus pada waktu yang khusus dari orang yang khusus. ) 4. Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, penerjemah, M. Abdul Ghoffar E.M., hal. 342.

Puasa berarti menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh, dengan niat yang tulus karena Allah, karena puasa mengandung penyucian, pemberssihan, dan penjernihan diri dan kebiasaan-kebiasaan yang jelek dan akhlak tercela. ) 5. Imam An-Nawawi., Al Majmu’Syarh Al Muhadzdza, Jilid 7, Tahqiq dan Ta'liq : Muhammad Najib Al Muthi'i., hal. 1.

Dari beberapa pendapat atau keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa puasa adalah suatu ibadah dalam bentuk menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh dan segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa tersebut selama waktu yang telah ditentukan oleh syariat dengan niat yang tulus karena Allah.

  1. Imam Al Qurthubi.,, Tafsit Al Qurthubi, Jilid 2. Ta'liq : Dr: Muhammad lbrahim Al Hifnawi, Takhrij : Mahmud Hamid Utsman., hal. 625-626.
  2. Syaikh Hasan Ayyub.,, Fikih Ibadah., hal. 603-604.
  3. Ibnu Hajar Al-Asqalani.,, Fathul Baari, Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari, Jilid 11, Penerjemah : Ghazirah Abdi Ummah., hal. 2.
  4. Ibnu Katsir.,, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, penerjemah, M. Abdul Ghoffar E.M.,, hal. 342.
  5. Imam An-Nawawi.,, Al Majmu’Syarh Al Muhadzdza, Jilid 7, Tahqiq dan Ta'liq : Muhammad Najib Al Muthi'i., hal. 1.