Shalat sunnah (tathawu') adalah shalat yang diperintahkan kepada setiap mukallaf sebagai tambahan dari shalat fardhu, tetapi perintah tersebut bukan menjadi kewajiban. Shalat sunnah disyari’atkan sebagai antisipasi bila seseorang mempunyai kekurangan dalam shalat fardhunya. Juga karena shalat merupakan ibadah yangmemilikibanyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh ibadah lain. Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ، فَإِنْ صَلُحَتْ، فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ، قَالَ الرَّبُّ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَيُكَمَّلُ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الْفَرِيضَةِ، ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ
Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat dari seorang hamba adalah shalat. Jika shalatnya baik, maka ia telah beruntung dan sukses. Jika shalatnya rusak, maka ia telah gagal dan merugi. Jika ada kekurangan dalam shalat wajibnya, Allah berkata: ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki (shalat) sunnah (nafilah)?’ Maka dengan shalat sunnah itu disempurnakanlah kekurangan dari shalat wajibnya. Kemudian amal lainnya juga akan diperlakukan seperti itu. (HR. Abu Dawud)
Dari Abu Umamah, Nabi bersabda:
ما أَذِنَ اللَّهُ لِعَبْدٍ فِي شَيْءٍ أَفْضَلَ مِنْ رَكْعَتَيْنِ يُصَلِّيهِمَا وَإِنَّ الْبِرَّ لَيُذَرُّ فَوْق رَأْسِ الْعَبْدِ ما دَامَ فِي صَلَاتِهِ
Allah tidak menilai amal seorang hamba yang lebih utama dari shalat sunnah dua raka’at yang dikerjakannya. Sesungguhnya kebajikan akan selalu tumbuh diatas kepala seorang hamba selama dia sedang mengerjakan shalat. (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Shalat sunnah itu lebih afdhal jika dilakukan di rumah, karena Nabi bersabda, "Wahai kaum Muslimin sekalian, laksanakanlah shalat di rumah kalian masing-masing, karena shalat yang paling afdhal itu adalah shalat yang dilakukan oleh seseorang di rumahnya sendiri, kecuali untuk shalat fardhu." (Muttafaq Alaih) Terkecuali untuk shalat-shalat sunnah yang disyariatkan untuk dilakukan secara berjamaah, seperti shalat tarawih. Maka shalat-shalat itu lebih afdhal jika dilakukan di masjid. ) 1. Syaikh Abdurrahman Al-Juzair, Fikih Empat Madzhab, Jilid 1, hal. 667.
Uraian Dibawah ini dikutib dari Kitab Fikih Empat Madzhab, Jilid 1 karya Syaikh Abdurrahman Al-Juzair.
Shalat sunnah boleh dilakukan di atas kendaraan meskipun tanpa ada alasan yang memaksa.
Menurut madzhab Syafi'i, shalat sunnah di atas kendaraan hukumnya boleh, selama tetap menghadap ke bagian depan kendaraannya, tidak boleh menyimpang dari arah tersebut kecuali untuk menghadap ke arah kiblat. Apabila menyimpang ke arah lain selain ke arah kiblat dengan sengaja maka shalatnya tidak sah.
Hukum ini hanya berlaku untuk para musafir, meskipun perjalanannya tidak sampai batas jarak yang diperbolehkan untuk mengqashar shalat.
Shalat sunnah tersebut harus dilakukan dengan sempurna, termasuk rukuk dan sujudnya. Terkecuali jika sulit untuk dilakukan seperti itu, maka dia diperbolehkan untuk rukuk dan sujud dengan anggukan kepala saja, dengan catatan anggukannya ketika bersujud lebih dalam daripada saat rukuk, hanya jika memungkinkan, jika tidak maka boleh melakukannya dengan cara apapun yang dapat dilakukan.
Menghadap ke arah kiblat tetap menjadi prioritas utama ketika melakukan shalat sunnah di atas kendaraary apabila sulit untuk dilakukan pada setiap rangkaian shalatnya maka boleh menghadapnya saja ketika bertakbiratul ihram, dan jika seperti itu juga tidak memungkinkan, maka boleh tidak menghadap kiblat sama sekali dengan enam syarat. Pertama, perjalanannya tidak terlarang. Kedua, tempat tujuannya tidak terdengar adzan Jum'at. Ketiga, perjalanannya untuk tujuan yang disyariatkan (misalnya untuk berniaga). Keempat, tempat yang dituju masih jauh.
Apabila saat sedang dalam shalatnya temyata dia sudah sampai di tujuan, maka dia harus langsung menghadap kiblat. Kelima, perjalanannya tidak mungkin dihentikan. Apabila perjalanan itu terhenti untuk beristirahat atau untuk maksud lainnya saat dia sedang dalam shalatnya, maka dia harus menghadap kiblat. Keenam, tidak banyak bergerak tanpa alasan, seperti berlari kencang (memacu hewan tunggangannya).
Tempat yang dijadikan sebagai tempat shalat di kendaraan tersebut haruslah tempat yang bersih dan suci, kecuali jika hewan yang menarik kendaraan itu tiba-tiba kencing, berdarah mulutnya, atau menginjak najis, dan tali kendali hewan itu dipegang olehnya, maka shalatnya tidak sah, apabila tidak seperti itu maka tetap sah shalatnya. Apabila najis yang terinjak oleh hewan tunggangannya adalahnajis yang kering dan langsung terlepas dari kakinya, maka shalatnya tetap sah, jika tidak seperti itu maka tidak sah shalatnya. Apalagi jika penunggang itu sengaja agar hewannya untuk menginjak najis, maka bagaimana pun bentuk najisnya shalatnya tetap batal.
Bagi musafir yartg melakukan perjalanan dengan berjalan kaki juga boleh melakukan shalat sunnahnya sambil berjalan. Apabila tidak sedang melewati tanah yang berlumpur maka dia harus menyempurnakan sikap rukuk dan sujudnya serta menghadap kiblat pada kedua rukun tersebut sebagaimana dia juga wajib untuk menghadap ke arah kiblat saat takbiratul ihram dan duduk di antara dua sujud. Dia tidak boleh melakukan itu sambil berjalan kecuali saat berdiri, i'tidal, duduk tasyahud, dan bersalam. Adapun jika dia sedang melewati tanah yang berlumpur, atau bersalju, atau pada jalan yang tergenang air, maka dia boleh melakukan rukuk dan sujudnya dengan cara menganggukkan kepala, namun dengan tetap menghadap ke arah kiblat. Apabila dia menginjak najis secara sengaja saat melaksanakan shalat sunnah, maka shalat itu dianggap batal, sedangkan jika terlupa atau tidak sengaja maka shalatnya sah, asalkan najis itu kering dan langsung terlepas dari kakinya, apabila tidak maka shalat sunnahnya dianggap batal.
Menurut madzhab Maliki, bagi musafir yang melakukan perjalanan dengan jarak yang mengizinkannya untuk mengqashar shalat maka boleh melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya, meskipun shalat witir, dengan syarat harus mengendarainya secara normal, dan sebaiknya melakukan shalat sunnahnya setelah melewati batas jarak yang mengizinkannya untuk mengqashar shalat tersebut.
Apabila dia naik di atas kendaraan yang cukup luas hingga mudah baginya untuk melakukan rukuk dan sujud, maka hendaknya melakukan ruku dan sujudnya itu dengan cara berdiri, atau boleh juga dalam posisi duduk ataupun dengan anggukkan kepala. Apabila hewan yang dinaikinya adalah onta betina atau sejenisnya, maka hendaknya melakukan rukuk dan sujud dengan anggukan kepala, asalkan anggukannya diarahkan ke tanah bukan ke pelana atau semacarnnya. Hendaknya dia mengikat imamahnya agar tidak menutupi dahi, meskipun dahinya tidak dilekatkan ke tanah. Sedangkan tanah yang dilaluinya dan dijadikan tempat untuk arah pandangan dari anggukannya tidak disyaratkan harus suci, dan tidak pula diwajibkan baginya untuk menghadapkiblat, diahanya cukup denganmenghadap ke arah jalanyang ditujunya saja. Apabila dia berpaling dari arah jalan yang ditujunya dengan sengaja tanpa ada kepentingan yang memperkenankannya untuk berpaling,maka shalatnya batal, kecuali jika dia berpaling untuk menghadap ke arah kiblat, maka shalatnya tetap sah, karena kiblat adalah arah yang memang seharusnya dia menghadap. Disunnahkan bagi musafir yang melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya untuk memulai shalatnya dengan menghadap ke arah kiblat, namun tidak sampai diwajibkan, meskipun baginya mudah untuk melakukan hal itu.
Adapun untuk orang yang bepergian dengan berjalan kaki, atau jarak tempuhnya tidak sampai mengizinkannya untuk mengqashar shalat, atau menunggangi kendaraannya dengan cara yang tidak biasa (misalnya dengan cara terbalik atau semacamnya), maka dia tidak boleh melakukan shalat sunnahnya kecuali dengan menghadap ke arah kiblat, serta dengan rukuk dan sujud yang sempurna.
Bagi musafir yang melakukan shalat sunnahnya di atas kendaraanya dia boleh melakukan gerakan yang biasa dilakukan oleh seorang pengendara, misalnya dengan memegang dan menghentakkan tali kendali, menggoyangkan kaki, dan lain sebagainya, namun dengan syarat tanpa mengeluarkan suara dan tidak menoleh.
Apabila dia telah memulai shalatnya di atas kendaraan, lalu kendaraan itu berhenti karena hendak bermalam atau untuk hal lain yang membutuhkan waktu cukup lama dan menghentikan hukumperjalanannya, maka dia harus turun dari kendaraannya dan menyelesaikan shalatnya di atas tanah lengkap dengan rukuk dan sujudnya. Namun jika hanya sebentar saja, maka dia cukup memperpendek bacaan suratnya untuk segera menyelesaikan shalatnya di atas kendaraan itu.
Adapun untuk shalat wajib atau semacamnya seperti shalat Nazar, maka dia tidak boleh melakukannya di atas punggung hewan secara
langsung, dia hanya boleh melakukannya di atas tandu, dengan syarat harus menghadap ke arah kiblat, serta harus melakukan rukuk, sujud, dan berdirinya secara sempurna. Lain halnya jika tandu itu dibawa oleh ontabetina atau semacamnya, maka shalatnya dianggap tidak sah, kecuali dengan alasan yang memperkenankannya, sebagaimana telah disampaikan pada pembahasan tentang kewajiban untuk menghadap ke arah kiblat saat shalat fardhu.
Menurut madzhab Hanafi, melakukan shalat sunnah di atas kendaraan hukumnya dianjurkan dengan menghadap ke arah jalan yang ditujunya, apabila menghadap ke arah lain maka shalatrya tidak sah. Sedangkan untuk melakukan shalat sunnah di atas kendaraan tidak perlu harus bepergianjaufu karena seorang yang bermukim di suatu negeri dengan melewati batas negerinya saja sudah boleh melakukannya.
Melaksanakan shalat sururah di atas kendaraan harus dengan anggukan kepala, karena memang disyariatkannya seperti itu. Apabila seseorang melakukannya dengan meletakkan dahinya di atas sesuatu atau bersujud di atas pelananya maka sujudnya itu dianggap sebagai anggukan kepala selama anggukan kepalanya ketika sujud itu lebih dalam daripada ketika rukuk.
Tidak disyaratkan ketika melakukan shalat sunnah ini untuk menghadap kiblat saat memulainya, karena apabila rukun-rukun lain diperbolehkan untuk tidak menghadap ke arah kiblat maka saat memulai shalat pun tidak perlu menghadapnya. Namun tentu saja dianjurkan apabila itu tidak memberatkan.
Orangyang melaksanakan shalat ini diperbolehkan untuk menganjurkan hewan tunggangannya agar berjalan pelan. Diperbolehkan juga baginya untuk turun dari hewan tunggangannya di tengah-tengah shalat dengan gerakan yang minimal,lalu melanjutkan shalatnya di atas tanah. Namun jika dia memulai shalatnya di atas tanah maka dia tidak diperbolehkan untuk melanjutkan shalat itu di atas kendaraannya. Sedangkan apabila dia sudah memulai shalatnya di atas kendaraan sejak di luar batas negeri, maka ia boleh-boleh saja menyelesaikannya tetap di atas kendaraan meski sudah masuk ke dalam wilayah negerinya sendiri. Adapun untuk shalat fardhu, shalat wajib, dan shalat fajar, semua shalat ini tidak boleh dilakukan di atas kendaraan, kecuali dalam keadaan terpaksa seperti ada kekhawatiran atas keselamatan diriny+ kendaraannya ataupun hartanya, dari pencuri atau dari hewan buas, apabila dia harus turun dari kendaraannya.
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan mengenai kewajiban untuk menghadap ke arah kiblat saat shalat bahwa apabila kendaraan terkena najis, baik sedikit ataupun banyak, maka shalatnya tetap sah bahkan jika najis itu terkena pelana atau bagian lainnya menurut pendapat yang diunggulkan dalam madzhab ini. Adapun jika orang tersebut pergi dengan cara berjalan kaki, maka dia tidak boleh melakukan shalat sunnahnya dengan tetap berjalary dia harus berhenti terlebih dahulu dan mengerjakannya dengan cara yang sempurna.
Menurut madzhab Hambali, musafir yang bepergian dengan tujuan tidak terlarang secara syariat baik itu perjalanan jauh atau tidak terlalu jauh, diperbolehkan untuk melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya jika berkendara atau di atas tanah jika dia berjalan kaki. Namun diwajibkan bagi pengendara untuk melakukan shalahrya dengan rukuk dan sujud yang sempurrra serta dengan menghadap ke arah kiblat pada seluruh rangkaian shalatnya, ketika dia dapat melakukannya tanpa kesulitan. Apabila sulit, maka itu semua tidak diwajibkan, dia boleh menghadap ke arah jalan yang ditujunya saja dan melakukan rukuk atau sujud dengan anggukan kepala. Dengan catatan, anggukan kepala saat bersujud harus lebih dalam dibandingkan saat rukuk.
Adapun bagi pejalan kaki, maka diharuskan baginya untuk memulai shalatnya dengan menghadap ke arah kiblat. Begitu juga dengan rukuk dan sujudnya di atas tanah, keduanya harus dengan menghadap ke arah kiblat. Sedangkan untuk rukun-rukun lainnya dia boleh melakukannya sambil berjalan dengan menghadap ke arah jalan yang ditujunya.
Apabila seorang pengendara sedang melaksanakan shalat sunnah diatas kendaraannya dengan menghadap ke arah jalan yang ditujunya, maka dia tidak boleh berpaling dari arah tersebut. Apabila dia atau hewannya berpaling dari arah tersebut ke arah kiblat maka shalatnya tetap sah, namun apabila ke arah selain kiblat dan dilakukan tanpa alasan yang diperkenankan maka shalatnya batal, dan apabila ada alasan dan hanya sebentar maka shalatnya tetap sah, namun jika terlalu lama maka shalatnya batal.
Disyaratkan bagi pengendara agar pelana yang digunakannya atau semacamnya harus bersih dan suci, namun tidak untuk hewan tunggangannya secara keseluruhan.
Adapun untuk orang yang melakukan perjalanan tanpa tujuan tertentu, atau bepergian dengan maksud yang dimakruhkan atau diharamkan, maka shalat sunnah yang dilakukannya sama seperti shalat sunnah dalam keadaan biasa, yaitu dengan menghadap ke arah kiblat dan lain sebagainya.
Apabila waktu shalat sunnah telah berlalu, maka shalat itu tidak perlu diqadha, kecuali dua rakaat shalat sunnah fajar, karena shalat itu boleh diqadha sejak waktu diperbolehkannya kembali untuk shalat sunnah hingga waktu matahari akan tergelincir, dengan keterangan yang telah dijelaskan sesaat lalu.
Ini adalah pendapat madzhab Hanafi dan Maliki. Adapun untuk pendapat madzhab Syafi'i dan Hambali. Silakan melihat keterangannya pada penjelasan berikut ini.
Menurut madzhab Syafi'i, hanya dianjurkan mengqadha shalat-shalat sunnah yang memiliki waktu, seperti shalat rawatib, shalat dhuha, dan shalat id. Sedangkan untuk shalat-shalat sunnah yang tidak memiliki waktu yang khusus, baik itu shalat karena suatu sebab seperti shalat kusuf, ataupun shalat tanpa sebab, maka tidak dianjurkan untuk mengqadhanya.
Menurut madzhab Hambali, shalat-shalat sunnah tidak dianjurkan untuk diqadha, kecuali shalat rawatib dan shalat witir.
Apabila seseorang telah melakukan shalat sunnah, dan ternyata setelah itu diketahui bahwa shalatnya tidak sah, maka dia tidak perlu mengqadhanya, karena shalat tersebut tidak diwajibkan atasnya. Ini menurut madzhab Syaf i dan Hambali, sedangkan untuk pendapat madzhab Maliki dan Hanafi dapat dilihat keterangannya pada penjelasan berikut ini.
Menurut madzhab Hanafi, apabila seseorang melakukan shalat sunnah yang diperintahkan, lalu ternyata shalat itu tidak sah, maka dia harus mengqadhanya. Jika niatnya shalat dua rakaat atau tidak meniatkan jumlah rakaatnya, maka dia diharuskan mengqadha sebanyak dua rakaat.
Jumlah tersebut juga berlaku untuk niat shalat sunnah empat rakaat menurut pendapat yang diunggulkan dalam madzhab ini. Sedangkan jika dia melakukan shalat sunnah yang tidak diperintahkan (atas keinginan sendiri untuk menambah nilai ibadahnya), namun berpikir bahwa shalat itu diperintahkary dan dia baru menyadari hal itu saat mengerjakannya/maka tidak perlu mengqadha shalat tersebut.
Menurut madzhab Maliki, shalat sunnah yang dilakukan secara tidak sah harus diqadha. Apabila niatnya shalat dua rakaat atau tidak diniatkan jumlah rakaatnya, maka dia hanya wajib mengqadha sebanyak dua rakaat.
Sedangkan jika diabemiat shalatempatrakaat maka dia diwajibkan untuk mengqadhanya empat rakaat hanya apabila kerusakan yang menyebabkan batalnya shalat tersebut terjadi pada rakaat ketiga atau keempat, namun apabila terjadi pada dua rakaat pertama maka dia hanya diwajibkan mengqadha shalatnya itu sebanyak dua rakaat saja.
Shalat sunnah dibagi menjadi dua bagian yaitu :
Shalat sunnah mutlak adalah shalat sunnah yang tidak terikat oleh waktu tertentu atau sebab tertentu. Shalat ini bisa dikerjakan kapan saja, kecuali pada waktu-waktu yang dilarang untuk shalat.
Shalat sunnah mutlak adalah salah satu cara untuk meningkatkan kualitas ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan mengerjakan shalat sunnah mutlak, seorang muslim dapat meraih keutamaan dan keberkahan dari Allah SWT.
Shalat sunnah mutlak bisa dikerjakan dengan dua rakaat, empat rakaat, atau lebih, sesuai dengan kemampuan dan keinginan.
Bila ada perintah untuk shalat sunnah namun tidak disebut jumlah raka'atnya, maka kita boleh salam (menyelesaikan shalatnya) setelah satu raka'at atau lebih, serta boleh suatu waktu dikerjakan dengan jumlah raka'at genap dan pada kesempatan lain dikerjakan dengan jumlah raka’at ganjil. Dari Ubadah bin Shamit :
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِهَا حَسَنَةً وَمَحَا عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَرَفَعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةً فَاسْتَكْثِرُوا مِنْ السُّجُودِ
tidaklah seorang hamba melakukan sujud sekali kepada Allah, kecuali Allah akan menuliskan baginya satu kebaikan, menghapus satu keburukan, dan mengangkatnya satu derajat. Oleh sebab itu perbanyaklah melakukan sujud. (HR : Ibnu Majjah)
Hadits Ahnaf bin Qais yang meriwayatkan Abu Dzaar melakukan shalat dengan raka'at yang banyak :
دَخَلْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ فَوَجَدْتُ فِيهِ رَجُلًا يُكْثِرُ السُّجُودَ فَوَجَدْتُ فِي نَفْسِي مِنْ ذَلِكَ فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ أَتَدْرِي عَلَى شَفْعٍ انْصَرَفْتَ أَمْ عَلَى وِتْرٍ قَالَ إِنْ أَكُ لَا أَدْرِي فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَدْرِي ثُمَّ قَالَ أَخْبَرَنِي حِبِّي أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ بَكَى ثُمَّ قَالَ أَخْبَرَنِي حِبِّي أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ بَكَى ثُمَّ قَالَ أَخْبَرَنِي حِبِّي أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً وَكَتَبَ لَهُ بِهَا حَسَنَةً قَالَ قُلْتُ أَخْبِرْنِي مَنْ أَنْتَ يَرْحَمُكَ اللَّهُ قَالَ أَنَا أَبُو ذَرٍّ صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَقَاصَرَتْ إِلَيَّ نَفْسِي
Aku memasuki Baitul Muqaddas, lalu aku mendapatkan seorang laki-laki yang memperbanyak sujud, hingga aku mendapati sesuatu dalam hatiku. Ketika laki-laki itu selesai shalat, aku berkata kepadanya, 'Apakah engkau tahu dalam rakaat genap atau ganjil engkau mengakhiri shalatmu? ' laki-laki itu menjawab, "Andai aku tidak tahu maka Allah Azza Wa Jalla Maha Mengetahui. Kekasihku, Abul Qasim shallallahu 'alaihi wasallam, telah mengabariku, ' lalu laki-laki itu menangis. 'Kekasihku, Abul Qasim shallallahu 'alaihi wasallam, telah mengabariku, ' lalu laki-laki itu kembali menangis. 'Kekasihku, Abul Qasim shallallahu 'alaihi wasallam, telah mengabariku, beliau bersabda: "Tidaklah seorang hamba sujud karena Allah dengan sekali sujud, kecuali Allah akan mengangkat satu derajat untuknya, menghapus satu dosa dan menuliskan untuknya satu pahala." Al Ahnaf berkata, "Aku lalu berkata, "Katakanlah kepadaku siapa kamu sebenarnya, semoga Allah merahmatimu." Laki-laki itu menjawab, "Aku Abu Dzar, sahabat Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam." Maka menjadi ciutlah nyaliku. (HR : Ahmad)
Shalat sunnah mugayyad adalah shalat sunnah yang terikat oleh sebab tertentu atau waktu tertentu. Kata muqayyad sendiri berarti "terikat" atau "dibatasi".
Shalat sunnah muqayyad dibagi menjadi dua bagian yaitu :
C. Shalat Sunnah Rawatib.
Shalat Sunnah Rawatib terdiri dari :
Hukum shalat sunnah rawatib dibagi menjadi dua yaitu :
Shalat sunnah rawatib mu'akkadah adalah shalat sunnah rawatib yang sering sekali dikerjakan oleh Rasul dan jarang beliau tinggalkan.
Shalat sunnah rawatib ghairu mu’akkadah adalah shalat sunnah rawatib yanglebi hbanyak ditinggalkan daripada dikerjakan oleh Rasul.
Jumlah Rakaat Sehari Semalam Berdasarkan Hadits Nabi.
Dalil Hadis :
Hadis 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari - Bab : Jumat : - Hadis No. : 1109
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَكَانَتْ سَاعَةً لَا يُدْخَلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا حَدَّثَتْنِي حَفْصَةُ أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَطَلَعَ الْفَجْرُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu berkata; Aku menghafal sesuatu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berupa shalat sunnat sepuluh raka'at yaitu; dua raka'at sebelum shalat Zhuhur, dua raka'at sesudahnya, dua raka'at sesudah shalat Maghrib di rumah Beliau, dua raka'at sesudah shalat 'Isya' di rumah Beliau dan dua raka'at sebelum shalat Shubuh, dan pada pelaksanaan shalat ini tidak ada waktu senggang buat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam . Telah menceritakan kepada saya Hafshah: Bahwasanya bila mu'adzin sudah mengumandangkan adzan dan fajar sudah terbit, Beliau shalat dua raka'at.
Dari hadis tersebut jumlah rakaat sebagai berikut :
Dalil Hadis :
Hadis Ummu Habibah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim - Bab : Shalatnya musafir dan penjelasan tentang qashar : - Hadis No. : 1198
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ يَعْنِي سُلَيْمَانَ بْنَ حَيَّانَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ سَالِمٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ قَالَ حَدَّثَنِي عَنْبَسَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ بِحَدِيثٍ يَتَسَارُّ إِلَيْهِ قَالَ سَمِعْتُ أُمَّ حَبِيبَةَ تَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ قَالَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ عَنْبَسَةُ فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ أُمِّ حَبِيبَةَ وَقَالَ عَمْرُو بْنُ أَوْسٍ مَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ عَنْبَسَةَ وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ سَالِمٍ مَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ حَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا دَاوُدُ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ سَالِمٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مَنْ صَلَّى فِي يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ سَجْدَةً تَطَوُّعًا بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami Abu Khalid yaitu Sulaiman bin Hayyan dari Dawud bin Abu Hind dari Nu'man bin Salim dari 'Amru bin Aus, katanya; telah menceritakan kepadaku Anbasah bin Abu Sufyan ketika sakitnya yang menyebabkan dia meninggal, dengan hadis yang membuatnya gembira. Katanya; aku mendengar Ummu Habibah mengatakan; aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa shalat dua belas rakaat sehari semalam, maka akan dibangunkan baginya sebuah rumah di surga. Ummu Habibah berkata; Maka aku tidak akan meninggalkan dua belas rakaat itu semenjak aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dan Anbasah juga berkata; Maka aku tidak akan meninggalkannya semenjak aku mendengarnya dari Ummu Habibah. Dan 'Amru bin Aus juga berkata; Aku tidak akan meninggalkannya semenjak aku mendnegarnya dari Anbasah. Nu'man bin Salim juga berkata; Aku tidak akan meninggalkannya semenjak aku mendengarnya dari 'Amru bin Aus. Telah menceritakan kepadaku Abu Ghassan Al Misma'i telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al Mufadldlal telah menceritakan kepada kami Dawud dari Nu'man bin Salim dengan sanad seperti ini; Siapa yang shalat sunnah dua belas raka'at dalam sehari, maka akan dibangunkan baginya rumah di dalam surga.
Hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi - Bab : Shalat :- Hadis No. : 379
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ النَّيْسَابُورِيُّ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ سُلَيْمَانَ الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ بْنُ زِيَادٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أُمِّ حَبِيبَةَ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي مُوسَى وَابْنِ عُمَرَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَائِشَةَ حَدِيثٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَمُغِيرَةُ بْنُ زِيَادٍ قَدْ تَكَلَّمَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rafi An Naisaburi berkata; telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Sulaiman Ar Razi berkata; telah menceritakan kepadaku Al Mughirah bin Ziyad dari Atha` dari Aisyah ia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa menjaga dalam mengerjakan shalat sunnah dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga, yaitu empat rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya` dan dua rakaat sebelum subuh. Ia berkata; Dalam bab ini juga ada riwayat dari Ummu Habibah, Abu Hurairah, Abu Musa dan Ibnu Umar. Abu Isa berkata; Hadits Aisyah derajatnya hasan gharib dari sisi ini, sedangkan Mughirah bin Ziyad telah diperbincangkan oleh para ulama dari sisi hafalannya.
Dari hadis tersebut jumlah rakaat sebagai berikut :
Shalat tathawu' yang beriringan dengan shalat fardhu terbagi menjadi dua yaitu :
Shalat rawatib jumlahnya ada sepuluh rakaat sebagai berikut :
Hukum shalat sunnah rawatib ini adalah sunnah muakkad, yang mana jika ada dua rakaat yang belum terlaksana dapat diqadha, kecuali jika jumlahnya banyak dan bersama shalat fardhu pula, maka lebih utama jika tidak dilakukan (karena yang lebih utama untuk menyelesaikan shalat fardhu yang belum terlaksana terlebih dahulu), agar terhindar dari pembebanan yang sangat berat baginya. Lain halnya dengan shalat sunnah fajar (shalat sunnah sebelum subuh), karena shalat tersebut boleh diqadha meskipun jumlahnya sangat banyak.
Dengan catatan, apabila seseorang melakukan shalat sunnah qabliyah setelah pelaksanaan shalat fardhu, maka shalat sunnahnya adalah shalat sunnah yang diqadha, meskipun sebenarnya waktunya belum berakhir.
Sementara untuk shalatJum'at ada juga shalat rawatib yang dilakukan setelahnya, paling sedikit dua rakaat dan paling banyak enam rakaat.
Shalat sunnah yang bukan rawatib itu berjumlah dua puluh rakaat, yaitu :
Disunnahkan pula baginya untuk shalat sunnah empat rakaat sebelum shalat Jum'at, shalat sunnah sebelum shalat Jum'at tidak termasuk dalam shalat sunnah rawatib, karena shalat Jum'at tidak memiliki shalat rawatib qabliyah.
Shalat sunnah yang beriringan dengan shalat fardhu terbagi menjadi dua yaitu :
Shalat masnun terdiri dari lima shalat, yaitu :
Dua rakaat sebelum shalat subuh. Ini adalah shalat sunnah yang tertinggi, olehkarena itu pelaksanaannya tidak boleh dilakukan dalam posisi duduk ataupun berkendara jika tidak terpaksa.
Shalat sunnah ini waktunya sepanjang waktu shalat subuh apabila waktunya telah terlewatkan maka tidak perlu diqadha, kecuali dikerjakan bersama dengan shalat fardhu.
Ketika seseorang terlalu lelap dalam tidurnya hingga baru bangun setelah matahari sudah terbit, maka dia boleh mengqadha shalat sunnah ini bersama shalat qadha subuhnya. Sedangkan waktu qadhanya bersama shalat fardhu hanya sebatas hingga saat matahari akan tergelincir (sebelum waktu zuhur tiba), apabila sudah melewati batas itu, maka shalat sunnah ini tidak perlu diqadha lagi.
Jika shalat sunnah ini telah lewat waktunya namun tidak bersama shalat fardhu (karena sudah dilaksanakan), maka shalat sunnah ini tidak perlu diqadha lagi, tidak pada saat matahari baru terbit dan tidak juga setelahnya. Disunnahkan agar shalat ini dilakukan di rumah saja dan di awal waktu. Adapun surat-surat yang disunnahkan untuk dibaca adalah surat Al-Kafirun pada rakaat pertama dan surat Al-Ikhlas pada rakaat kedua.
Apabila iqamah untuk shalat subuh berjamaah sudah dikumandangkan, padahal dia belum mengerjakan shalat sunnah ini, maka dia boleh mengerjakan shalat ini terlebih dahulu apabila yakin masih dapat mengejar shalat subuh secara berjamaah, namun jika tidak, maka boleh meninggalkannya dan segera masuk dalam shalat jamaah, namun tidak perlu mengqadhanya setelah itu sebagaimana sudah dijelaskan di atas tadi.
Selain shalat sunnah fajar ini tidak ada lagi shalat sunnah lain yang diperbolehkan untuk dilakukan apabila iqamah sudah dikumandangkan.
Shalat empat rakaat sebelum shalat zuhur ini dengan satu kali salam. Shalat sunnah ini juga merupakan shalat sunnah yang tertinggi setelah shalat sunnah fajar.
Shalat dua rakaat setelah shalat zuhur dilakukan hanya pada hari biasa selain hari Jum'at, karena setelah shalat Jum'at disunnahkan untuk mengerjakan sebanyak empat rakaat, sebagaimana juga disunnahkan empat rakaat sebelumnya.
shalat sunnah yang mandub terdiri dari empat shalat, yaitu :
Empat rakaat setelah shalat isya ini sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah, bahwa Rasulullah terkadang mengerjakan empat rakaat shalat sunnah sebelum isya kemudian empat rakaat lainnya setelah selesai melaksanakan shalat isya, kemudian barulah beliau berbaring.
Selain shalat-shalat sunnah tersebut di atas, siapa pun boleh melakukan shalat sunnah sebanyak apa pun yang dia mau, dengan memperhatikan sunnahnya yaitu dengan bersalam setiap empat rakaat pada shalat sunnah di siang hari, kecuali di waktu-waktu yang dimakruhkan, dan jika bersalam setiap dua rakaat sekali maka dia tidak mendapatkan nilai sunnahnya.
Sementara untuk waktu maghrib, maka dia boleh menggabungkan semua shalat sunnahnya dengan sekali salam, dan boleh bersalam pada setiap dua rakaat sekali. Sedangkan pada waktu isya, dia boleh melakukan shalat sunnah qabliyah atau ba'diyah sebanyak empat rakaat, dan disunnahkan baginya untuk mengisi antara shalat fardhu dengan shalat sunnah ba'diyahnya dengan ucapan "Ya Allah Engkau yang Maha Pemberi keselamatan, dari-Mu keselamatan. Engkau Maha Pemberi barakah, wahai pemilik keagungan dan kemuliaan," atau dengan wirid lainnya yang diajarkan oleh Nabi.
Shalat sunnah yang mengiringi shalat fardhu ada dua macam, yaitu muakkad (sangat dianjurkan) dan gairu muakkad (hanya dianjurkan).
Shalat sunnah muakkad tersebut terdiri dari :
shalat sunnah muakkad adalah dua rakaat shalat fajar.
Waktunya sama seperti waktu shalat subuh, yaitu dari menyingsingnya fajar hingga terbitnya matahari.
Shalat ini sunnah dilakukan sebelum shalat subuh, asalkan orang itu tidak khawatir akan tertinggal waktu subuhnya atau tertinggal shalat berjamaahnya. Apabila dia merasa khawatir seperti itu maka dia boleh mendahulukan shalat subuhnya, lalu mengerjakan shalat fajar setelah shalat subuhnya selesai, tidak ada larangan sama sekali dalam hal ini. Adapun jika matahari telah terbit, sementara dia belum mengerjakan shalat fajar, maka dia boleh melakukannya saat itu juga dengan niat qadha. Sedangkan bacaan Al-Qur'an yang disunnahkan pada shalat ini setelah pembacaan surat al-Fatihah adalah Al-Baqarah ayat 136 dan untuk rakaat yang kedua membaca surah Ali Imran ayat 64.
Disunnahkan ketika melakukan shalat tersebut agar memberikan sedikit jarak antara shalat sunnahnya dengan shalat subuhnya dengan cara merebahkan badan sesaat dengan sisi kanan tubutr, atau dengan berpindah tempat, atau dengan ucapan yang bukan masalah duniawi.
Dua rakaat setelah shalat Jum'at hanya dilakukan apabila dia tidak mengerjakan shalat zuhur setelah shalat Jum'atnya, namun jika mengerjakannya maka tidak disunnahkan baginya untuk shalat sunnah tersebut, karena shalatzuhumya itu telah dianggap ibadah sunnahbaginya.
Pada dua rakaat shalat sunnah setelah maghrib ini disunnahkan untuk membaca surat Al-Kafirun pada rakaat yang pertama dan surat Al-Ikhlas pada rakaat yang kedua.
Semua shalat sunnah muakkad ini dinamai dengan rawatib. Shalat-shalat sunnah yang dilakukan sebelum shalat fardhu dinamai rawatib qabliyah, sedangkan shalat-shalat sunnah yang dilakukan setelah shalat fardhu dinamai rawatib ba'diyah.
Ada pula sunnah muakkad yang tidak termasuk shalat sunnah rawatib, yaitu shalat sunnah witir, yang muu:ra shalat witir ini paling sedikit boleh dilakukan satu rakaat, sedangkan jumlah rakaat yang paling bawah tingkat sempurnanya adalah tiga, dan yang paling atas tingkat sempurnanya adalah sebelas rakaat. Lebih afdhal jika salamnya dilakukan setiap dua rakaat sekali. Sementara untuk waktunya adalah setelah selesai shalat isya, meskipun shalat isya tersebut dijama' takdim dengan shalat maghrib yakni shalat jama' bagi musafir dengan menggabungkan shalat maghrib dan shalat isya yang dilakukan pada waktu maghrib-pent). Sedangkan waktu shalat witir ini memanjang hingga fajar menyingsing. Bahkan dapat juga dilakukan setelah fajar menyingsing, namun dengan niat qadha.
Shalat-shalat sunnah ghairu muakkad terdiri dari dua belas rakaat, yaitu :
Untuk shalat sunnah dua rakaat sebelum maghrib, disunnahkan agar dilakukan lebih ringan dari shalat-shalat sunnah lainnya, dan disunnahkan pula agar dilakukan setelah kumandang adzan, sebagaimana disebutkan dalam hadits, "Pada setiap di antara dua adzan itu ada shalat (sunnah)." Maksud dari dua adzan di sini adalah adzan dan iqamah.
Shalat sunnah yang mengiringi shalat fardhu ada dua macam, yaitu rawatib dan gairu rawatib.
shalat-shalat sunnah rawatib di antaranya adalah :
Adapun untuk sebelum dilaksanakannya shalat maghrib, dimakruhkan bagi siapa pun untuk mengerjakan shalat sunnah, karena waktu maghrib itu terlalu sempit.
untuk waktu isya, tidak ada dalil syar'i yang menyebutkan secara spesifik bahwa sebelum shalat isya itu ada shalat sunnah. Namun ada dalil yang secara umum untuk memasukkannya, yaitu hadits Nabi, "Pada setiap di antara dua adzan itu ada shalat (sunnah)." Sedangkan yang dimaksud dengan kalimat dua adzan pada hadits ini adalah adzan dan iqamah.
Tidak ada jumlah rakaat tertentu yang membatasi shalat-shalat sunnah ini, namunyang paling afdal adalah seperti yang disebutkan dalamhadits, yaitu: empat rakaat sebelum shalat zuhur, empat rakaat setelah shalat zuhur, empat rakaat sebelum shalat ashar, dan enam rakaat setelah shalat maghrib. Hukum dari shalat-shalat sunnah rawatib ini adalah mandub muakkad (sangat dianjurkan).
shalat-shalat sunnah gairu rawatib di antaranya adalah :
Shalat sunnah ini berjumlah dua rakaat, dan hukumnya marghub (sangat disarankan), sedikit di atas mustahab dan sedikit di bawah muakkad. Waktunya dimulai dari fajar menyingsing hingga terbitnya matahari, apabila dilakukan setelah matahari sudah terbit hingga saat matahari akan tergelincir (sebelum waktu zuhur tiba) maka niatnya adalah qadha, sedangkan apabila matahari sudah tergelincir maka tidak ada lagi qadha untuk shalat ini.
Shalat Sunnah Fajar ini dilakukan sebelum shalat subuh oleh karena itu apabila shalat subuh telah dilaksanakan terlebih dahulu maka dimakruhkan untuk mengerjakan shalat sunnah ini hingga tiba waktu diperbolehkannya melakukan shalat sunnah, yaitu ketika matahari sudah terbit setinggi tombak Arab, yakni kurang lebih dua belas jengkal tangan normal. Apabila telah tiba waktu tersebut maka dia boleh melakukan qadha shalat fajarnya. Namun ketika saat matahari terbit dia belum melakukan shalat fajar sekaligus juga shalat subutu maka menurut pendapat yang diunggulkan dalam madzhab ini ia harus mengerjakan shalat subuhnya terlebih dahulu dan setelah itu ia boleh menunggu waktu diperbolehkannya shalat sunnah untuk mengerjakan shalat fajar (yakni dia tidak boleh menunggu waktu itu tiba untuk melaksanakan shalat subuhnya, dia harus lekas mengerjakannya).
Bagi orang yang melakukan shalat sunnah fajar dianjutkan untuk membaca surat Al-Fatihah saja pada kedua rakaatnya, dia tidak perlu membaca surat lainnya setelah itu.
Shalat Syafa' ini jumlah rakaatnya paling sedikit dua rakaat, dan paling banyak tidak terbatas. Shalat sunnah ini dilakukan setelah shalat isya dan sebelum shalat witir. Sedangkan hukum shalat ini adalah dianjurkan.
Hukum shalat ini sunnah muakkad, bahkan paling dianjurkan setelah shalat sunnah thawaf. Waktunya adalah setelah pelaksanaan shalat isya hingga fajar hampir menyingsing, ini adalah waktu terbaik, sedangkan waktu darurat boleh dilakukanketika fajar sudah menyingsing hingga pelaksanaan shalat subuh, namun dimakruhkan mengakhirkan shalat witir hingga waktu tersebut jika tidak terpaksa. Apabila seseorang sedang melaksanakan shalat subuh, lalu dia teringat belum mengerjakan shalat witir, maka dianjurkan untuk menghentikan shalat subuhnya untuk melaksanakan shalat witir, terkecuali jika dia berposisi sebagai makmum. Dia hanya boleh menghentikan shalat subuh berjamaahnya jika tidak khawatir akan tertinggal waktu shalatnya.
Dianjurkan pada rakaat pertama shalat sunnah syafa' untuk membaca surat Al-A'la, sedangkan pada rakaat kedua membaca surat Al-Kafirun. Sedangkan untuk shalat sunnah witir, dianjurkan untuk membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas (yakni jika hanya satu rakaat saja, atau pada satu rakaat terakhirnya).
Pada seluruh shalat-shalat sunnah ini disunnahkan agar bersalam pada setiap dua rakaat sekali, karena Nabi i&bersabda "Shalat malamitu dilakukan dua raknat dua rakaat." Lalu shalat-shalat sunnah di siang hari diqiyaskan dengan shalat-shalat sunnah di malam hari, karena tidak ada beda antara semua shalat-shalat sunnah tersebut.
Berikut ini adalah shalat sunnah rawatib pada masing-masing shalat fardhu :
Shalat Sunnah Fajar.
2 raka'at sebelum shalat subuh (Shalat sunnah fajar) adalah shalat sunnah mu'akkadah yang dikerjakan sebelum shalat fardhu. Shalat sunnah fajar merupakan shalat sunnah rawatib yang paling mu'akkadah (ditekankan), sebagaimana Hadits 'Aisyah radliallahu'anha yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari - Bab : Jumat : - Hadis No. : 1093.
حَدَّثَنَا بَيَانُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ
Telah menceritakan kepada kami Bayan bin 'Amru telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dari 'Atho' dari 'Ubaid bin 'Umair dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: Tidak ada shalat sunnat yang lebih Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tekuni daripada dua raka'at Fajar.
Menurut pendapat Madzhab Hanbali :
Dalam Madzhab Hanbali, hukum shalat sunnah dua rakaat sebelum subuh adalah sunnah muakkad, yang mana jika ada dua rakaat yang belum terlaksana dapat diqadha.
Menurut pendapat Madzhab Hanafi :
Dua rakaat sebelum shalat subuh. Ini adalah shalat sunnah yang tertinggi, olehkarena itu pelaksanaannya tidak boleh dilakukan dalam posisi duduk ataupun berkendara jika tidak terpaksa.
Shalat sunnah ini waktunya sepanjang waktu shalat subuh apabila waktunya telah terlewatkan maka tidak perlu diqadha, kecuali dikerjakan bersama dengan shalat fardhu.
Ketika seseorang terlalu lelap dalam tidurnya hingga baru bangun setelah matahari sudah terbit, maka dia boleh mengqadha shalat sunnah ini bersama shalat qadha subuhnya. Sedangkan waktu qadhanya bersama shalat fardhu hanya sebatas hingga saat matahari akan tergelincir (sebelum waktu zuhur tiba), apabila sudah melewati batas itu, maka shalat sunnah ini tidak perlu diqadha lagi.
Jika shalat sunnah ini telah lewat waktunya namun tidak bersama shalat fardhu (karena sudah dilaksanakan), maka shalat sunnah ini tidak perlu diqadha lagi, tidak pada saat matahari baru terbit dan tidak juga setelahnya. Disunnahkan agar shalat ini dilakukan di rumah saja dan di awal waktu. Adapun surat-surat yang disunnahkan untuk dibaca adalah surat Al-Kafirun pada rakaat pertama dan surat Al-Ikhlas pada rakaat kedua.
Apabila iqamah untuk shalat subuh berjamaah sudah dikumandangkan, padahal dia belum mengerjakan shalat sunnah ini, maka dia boleh mengerjakan shalat ini terlebih dahulu apabila yakin masih dapat mengejar shalat subuh secara berjamaah, namun jika tidak, maka boleh meninggalkannya dan segera masuk dalam shalat jamaah, namun tidak perlu mengqadhanya setelah itu sebagaimana sudah dijelaskan di atas tadi.
Selain shalat sunnah fajar ini tidak ada lagi shalat sunnah lain yang diperbolehkan untuk dilakukan apabila iqamah sudah dikumandangkan.
Menurut pendapat Madzhab Syafi'iyah :
Shalat ini sunnah dilakukan sebelum shalat subuh, asalkan orang itu tidak khawatir akan tertinggal waktu subuhnya atau tertinggal shalat berjamaahnya. Apabila dia merasa khawatir seperti itu maka dia boleh mendahulukan shalat subuhnya, lalu mengerjakan shalat fajar setelah shalat subuhnya selesai, tidak ada larangan sama sekali dalam hal ini. Adapun jika matahari telah terbit, sementara dia belum mengerjakan shalat fajar, maka dia boleh melakukannya saat itu juga dengan niat qadha. Sedangkan bacaan Al-Qur'an yang disunnahkan pada shalat ini setelah pembacaan surat al-Fatihah adalah Al-Baqarah ayat 136 dan untuk rakaat yang kedua membaca surah Ali Imran ayat 64.
Disunnahkan ketika melakukan shalat tersebut agar memberikan sedikit jarak antara shalat sunnahnya dengan shalat subuhnya dengan cara merebahkan badan sesaat dengan sisi kanan tubutr, atau dengan berpindah tempat, atau dengan ucapan yang bukan masalah duniawi.
Imam An-Nawai dalam Al Majmu' Syarah Al Muhadzdzab, Jilid 4 pada Bab: Shalat Tathawwu' menerangkan bahwa : ) 2. Imam An-Nawawi - Al Majmu' Syarah Al Muhadzdzab Jilid 4, hal 74-74..
Menurut pendapat Madzhab Maliki :
Shalat sunnah ini berjumlah dua rakaat, dan hukumnya marghub (sangat disarankan), sedikit di atas mustahab dan sedikit di bawah muakkad. Waktunya dimulai dari fajar menyingsing hingga terbitnya matahari, apabila dilakukan setelah matahari sudah terbit hingga saat matahari akan tergelincir (sebelum waktu zuhur tiba) maka niatnya adalah qadha, sedangkan apabila matahari sudah tergelincir maka tidak ada lagi qadha untuk shalat ini.
Shalat Sunnah Fajar ini dilakukan sebelum shalat subuh oleh karena itu apabila shalat subuh telah dilaksanakan terlebih dahulu maka dimakruhkan untuk mengerjakan shalat sunnah ini hingga tiba waktu diperbolehkannya melakukan shalat sunnah, yaitu ketika matahari sudah terbit setinggi tombak Arab, yakni kurang lebih dua belas jengkal tangan normal. Apabila telah tiba waktu tersebut maka dia boleh melakukan qadha shalat fajarnya. Namun ketika saat matahari terbit dia belum melakukan shalat fajar sekaligus juga shalat subutu maka menurut pendapat yang diunggulkan dalam madzhab ini ia harus mengerjakan shalat subuhnya terlebih dahulu dan setelah itu ia boleh menunggu waktu diperbolehkannya shalat sunnah untuk mengerjakan shalat fajar (yakni dia tidak boleh menunggu waktu itu tiba untuk melaksanakan shalat subuhnya, dia harus lekas mengerjakannya).
Bagi orang yang melakukan shalat sunnah fajar dianjutkan untuk membaca surat Al-Fatihah saja pada kedua rakaatnya, dia tidak perlu membaca surat lainnya setelah itu.
Tidak ada shalat sunnah ba'diyah subuh.
Dalam syariat Islam terdapat larangan untuk melakukan shalat sunnah setelah shalat fardhu Subuh sampai terbitnya matahari. larangan tersebut berdasarkan hadits-hadits Nabi antara lain sebagai berikut :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ صَالِحٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَطَاءُ بْنُ يَزِيدَ الْجُنْدَعِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُول ُ لَا صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ
Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'd dari Shalih dari Ibnu Syihab berkata, telah mengabarkan kepadaku 'Atha bin Yazid Al Junda'i bahwa dia mendengar Abu Sa'id Al Khudri berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:"Tidak ada shalat setelah Shubuh hingga matahari meninggi dan tidak ada shalat setelah 'Ashar hingga matahari menghilang."
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا أَبَانُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ فِيهِمْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ
Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Aban telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abu Al 'Aliyah dari Ibnu Abbas dia berkata; "Beberapa orang yang mendapatkan keridlaan (Allah) memberi kesaksian kepadaku, di antara mereka adalah Umar bin Khattab, dan memang yang paling aku sukai di antara mereka adalah Umar, bahwa Nabi Allah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; "Tidak ada shalat setelah shalat Shubuh hingga matahari terbit, dan tidak ada shalat setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam."
Imam An-Nawawi (yang bermadzhab Syafi'i) dalam kitab Al Majmu' Syarah Al Muhadzdzab, Jilid 4, pada Bab: Waktu-waktuTerlarang Untuk Shalat, mengatakan bahwa setelah shalat Shubuh hingga matahari terbit adalah waktur terlarang untuk shalat.
Ulama Hanafiyah, berpendapat bahwa empat raka'at sebelum zuhur adalah mu'akkadah. menurut mereka, empat rakaat sebelum shalat zuhur dengan satu kali salam. Shalat sunnah ini juga merupakan shalat sunnah yang tertinggi setelah shalat sunnah fajar.
Menurut madzhab Hanbali shalat rawatib sebelum shalat zuhur adalah 2 raka'at.
Menurut madzhab Syafi'i, dua rakaat sebelum shalat zuhur atau shalat ]um'at hukumnya adalah sunnah mu'akkad.
Menurut Madzhab Maliki , shalat sunnah sebelum shalat zuhur adalah shalat rawatib, tidak ada jumlah rakaat tertentu yang membatasi shalat-shalat sunnah ini, namun yang paling afdal adalah seperti yang disebutkan dalam hadits, yaitu empat rakaat.
قَالَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْتَشِرِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدَعُ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ عَلَى حَالٍ
Dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Waki' Telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Ibrahim bin Muhammad bin Al Muntsyir dari ayahnya berkata; Saya telah mendengar Aisyah berkata; "Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam tidak pernah meninggalkan empat raka'at sebelum zuhur dan dua raka'at sebelum fajar."
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ وَبَعْدَ الْعِشَاءِ رَكْعَتَيْنِ وَكَانَ لَا يُصَلِّي بَعْدَ الْجُمُعَةِ حَتَّى يَنْصَرِفَ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa melaksanakan dua rakaat sebelum zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah Maghrib di rumahnya, dan dua rakaat sesudah Isya. Dan beliau tidak mengerjakan shalat setelah Jum'at hingga beliau pulang, lalu shalat dua rakaat.
Menurut madzhab Hanbali shalat rawatib setelah shalat zuhur adalah 2 rajaat hukumnya adalah sunnah muakkad, yang mana jika ada dua rakaat yang belum terlaksana dapat diqadha, kecuali jika jumlahnya banyak dan bersama shalat fardhu pula, maka lebih utama jika tidak dilakukan (karena yang lebih utama untuk menyelesaikan shalat fardhu yang belum terlaksana terlebih dahulu), agar terhindar dari pembebanan yang sangat berat baginya. Lain halnya dengan shalat sunnah fajar (shalat sunnah sebelum subuh), karena shalat tersebut boleh diqadha meskipun jumlahnya sangat banyak.
Madzhab Hanafi dua rakaat setelah shalat zuhur hukumnya adalah masnun (yung disunnahkan), namun hanya pada hari biasa selain hari Jum'at, karena setelah shalat Jum'at disunnahkan untuk mengerjakan sebanyak empat rakaat, sebagaimana juga disunnahkan empat rakaat sebelumnya.
Menurut madzhab Syafi'i , dua rakaat setelah shalat zuhur atau shalat ]um'at hukumnya adalah sunnah mu'akkad, Dengan catatan, dua rakaat setelah shalat Jum'at hanya dilakukan apabila dia tidak mengerjakan shalat zuhur setelah shalat Jum'atnya, namun jika mengerjakannya maka tidak disunnahkan baginya untuk shalat sunnah tersebut, karena shalatzuhumya itu telah dianggap ibadah sunnah baginya.
Menurut Madzhab Maliki , shalat sunnah setelah shalat zuhur adalah shalat rawatib, tidak ada jumlah rakaat tertentu yang membatasi shalat-shalat sunnah ini, namun yang paling afdal adalah seperti yang disebutkan dalam hadits, yaitu empat rakaat.
Menurut Madzhab Hanafi , shalat sunnah empat rakaat sebelum ashar hukumnya adalah mandub yaitu (yang dianjurkan), namun boleh juga dikerjakan dua rakaat. Menurut Madzhab Maliki , shalat sunnah sebelum shalat ashar hukumnya adalah mandub muakkad (sangat dianjurkan), tidak ada jumlah rakaat tertentu yang membatasi shalat-shalat sunnah ini, namun yang paling afdal adalah seperti yang disebutkan dalam hadits, yaitu empat rakaat.
Tidak ada shalat sunnah ba'diyah ashar.
Dalam syariat Islam terdapat larangan untuk melakukan shalat sunnah setelah shalat fardhu ashar sampai matahari menghilang.. larangan tersebut berdasarkan hadits-hadits Nabi antara lain sebagai berikut :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ صَالِحٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَطَاءُ بْنُ يَزِيدَ الْجُنْدَعِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُول ُلَا صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ
Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'd dari Shalih dari Ibnu Syihab berkata, telah mengabarkan kepadaku 'Atha bin Yazid Al Junda'i bahwa dia mendengar Abu Sa'id Al Khudri berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:"Tidak ada shalat setelah Shubuh hingga matahari meninggi dan tidak ada shalat setelah 'Ashar hingga matahari menghilang."
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا أَبَانُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ فِيهِمْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ
Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Aban telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abu Al 'Aliyah dari Ibnu Abbas dia berkata; "Beberapa orang yang mendapatkan keridlaan (Allah) memberi kesaksian kepadaku, di antara mereka adalah Umar bin Khattab, dan memang yang paling aku sukai di antara mereka adalah Umar, bahwa Nabi Allah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; "Tidak ada shalat setelah shalat Shubuh hingga matahari terbit, dan tidak ada shalat setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam."
Menurut Madzhab Maliki , shalat sunnah sebelum dilaksanakannya shalat maghrib, dimakruhkan bagi siapa pun untuk mengerjakan shalat sunnah, karena waktu maghrib itu terlalu sempit.
Menurut Madzhab Syafi'i , dua rakaat setelah shalat maghrib hukumnya adalah muakkad
Menurut Madzhab Hanafi , shalat sunnah enam rakaat setelah shalat maghrib. hukumnya adalah mandub yaitu (yang dianjurkan).
Menurut Madzhab Hanafi, shalat sunnah empat rakaat sebelum shalat isya hukumnya adalah mandub yaitu (yang dianjurkan). Menurut madzhab Maliki, tidak ada dalil syar'i yang menyebutkan secara spesifik bahwa sebelum shalat isya itu ada shalat sunnah. Namun ada dalil yang secara umum untuk memasukkannya, yaitu hadits Nabi &, " Pada setiap di antara dua adzan itu ada shalat (sunnah)." Sedangkan yang dimaksud dengan kalimat dua adzan pada hadits ini adalah adzan dan iqamah.
Menurut Madzhab Hanbali, dua rakaat setelah shalat Isya' hukumnya adalah muakkad yang mana jika ada dua rakaat yang belum terlaksana dapat diqadha, kecuali jika jumlahnya banyak dan bersama shalat fardhu pula, maka lebih utama jika tidak dilakukan (karena yang lebih utama untuk menyelesaikan shalat fardhu yang belum terlaksana terlebih dahulu), agar terhindar dari pembebanan yang sangat berat baginya.
Menurut Madzhab Syafi'i, dua rakaat setelah shalat Isya' hukumnya adalah muakkad.
Menurut Madzhab Hanafi,empat rakaat setelah shalat isya, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah, bahwa Rasulullah r(B terkadang mengerjakan empat rakaat shalat sunnah sebelum isya kemudian empat rakaat lainnya setelah selesai melaksanakan shalat isya, kemudian barulah beliau berbaring.
Shalat sunnah berdasarkan waktu adalah shalat sunnah yang ditentukan waktunya tetapi tidak beriringan dengan shalat fardu (tidak termasuk Shalat Sunnah Rawatib). Ketentuan waktu tersebut baik berkaitan dengan waktu harian maupun waktu-waktu tertentu sepanjang tahun.
Shalat sunnah berdasarkan waktu contohnya antara lain : Shalat Witir, Shalat Tahajjud (Qiyam al-Lail), Shalat Dhuha, Shalat Tarawih, Shalat dua Hari Raya, Shalat Istisqa', Shalat Gerhana (Khusuf & Kusuf).
> Secara bahasa, Qiyamul Lail berarti “berdiri di malam hari.” Secara istilah, shalat malam adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah shalat Isya sampai terbit fajar (waktu Subuh), baik dilakukan sebelum tidur maupun setelah tidur. Jadi shalat malam mencakup tahajud, witir, dan semua shalat sunnah yang dikerjakan di malam hari.
Shalat malam (صلاة الليل ) adalah shalat sunnah yang dikerjakan pada waktu malam hari setelah shalat Isya hingga sebelum waktu Subuh. Shalat malam yang paling utama adalah Shalat Tahajud, yang dilakukan setelah bangun tidur malam.
Disunnahkan pula mengerjakan shalat malam yang waktu-nya dimulai dari setelah shalat ‘isya’ sampai tiba waktu shubuh. Pada shalat malam tidak ada keterangan yang menjelaskan batasan-batasan tertentu. Oleh karena itu termasuk shalat malam bila mengerjakan satu raka’at shalat witir setelah shalat 'isya'.
Dianjurkan bagi setiap muslim untuk shalat sunnah tahajjud di malam hari, sebagaimana hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim, Bab : Puasa Muharram. Hadits No. : 1982 sebagai berikut :
دَّثَنِي قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي بِشْرٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
Telah menceritakan kepadaku Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Abu Bisyr dari Humaid bin Abdurrahman Al Himyari dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seutama-utama puasa setelah Ramadlan ialah puasa di bulan Muharram, dan seutama-utama shalat sesudah shalat Fardlu, ialah shalat malam."
Imam Muslim juga meriwayatkan hadits Abu Hurairah dengan redaksi yang berbeda dari jalur Zuhair bin Harb sebagai berikut :
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْتَشِرِ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَرْفَعُهُ قَالَ سُئِلَ أَيُّ الصَّلَاةِ أَفْضَلُ بَعْدَ الْمَكْتُوبَةِ وَأَيُّ الصِّيَامِ أَفْضَلُ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ فَقَالَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ الصَّلَاةُ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ وَأَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ صِيَامُ شَهْرِ اللَّهِ الْمُحَرَّمِ و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ فِي ذِكْرِ الصِّيَامِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir dari Abdul Malik bin Umair dari Muhammad bin Al Muntasyir dari Humaid bin Abdurrahman dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dan ia saya mendengar-marfu'-kannya bahwa; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah ditanya, "Shalat apakah yang paling utama setelah shalat Maktubah (wajib)? Dan puasa apakah yang paling utama setelah puasa Ramadlan?" maka beliau menjawab: "Seutama-utama shalat setelah shalat Maktubah (wajib) adalah shalat pada sepertiga akhir malam, dan seutama-utama puasa setelah puasa Ramadlan adalah puasa di bulan Muharram." Dan Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Husain bin Ali dari Za`idah dari Abdul Malik bin Umair dengan isnad ini, terkait dengan penyebutan puasa dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. yakni dengan hadis yang semisalnya.
Berdasarkan hadis-hadis di bawah ini, Rasulullah melaksanakan shalat tahajud sebanyak 8 rakaat :
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي
Telah menceritakan kepada kami Isma'il berkata, telah menceritakan kepada saya Malik dari Sa'id Al Maqbariy dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman bahwasanya dia bertanya kepada 'Aisyah radliallahu 'anha tentang cara shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di bulan Ramadhan. Maka 'Aisyah radliallahu 'anha menjawab: Tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (melaksanakan shalat malam) di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan lainnya lebih dari sebelas raka'at, Beliau shalat empat raka'at, maka jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya kemudian Beliau shalat empat raka'at lagi dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian Beliau shalat tiga raka'at. Lalu aku bertanya: Wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum melaksanakan witir? Beliau menjawab: Wahai 'Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, namun hatiku tidaklah tidur.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya katanya; aku menyetorkan hapalan kepada Malik dari Said bin Abu Said Al Maqbari dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa dia pernah bertanya kepada 'Aisyah; Bagaimanakah shalat (sunnah) Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada bulan Ramadhan? Aisyah menjawab; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengerjakan shalat sunnah baik ketika Ramadhan atau diluar ramadhan tak lebih dari sebelas rakaat, beliau mengerjakan empat rakaat, kamu tidak usah menanyakan kualitas dan panjangnya shalat beliau, setelah itu beliau mengerjakan empat rakaat, kamu tidak usah menanyakan kualitas dan panjangnya shalat beliau, kemudian beliau shalat tiga rakaat. Aisyah berkata; lalu aku bertanya; Wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum witir? Beliau menjawab: Wahai 'Aisyah, kedua mataku memang tidur, namun hatiku tidak.
Dari hadis 'Aisyah di atas diketahui bahwa Rasulullah melakukan shalat tahajut 8 (delapan) rakaat kemudian dilanjutkan dengan witir 3 (tiga) rakaat.
Berdasarkan hadis-hadis di bawah ini, Rasulullah melaksanakan shalat tahajud sebanyak 10 rakaat :
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا حَنْظَلَةُ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ اللَّيْلِ عَشَرَ رَكَعَاتٍ وَيُوتِرُ بِسَجْدَةٍ وَيَرْكَعُ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فَتْلِكَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Hanzhalah dari Al Qasim bin Muhammad katanya; Aku pernah mendengar 'Aisyah mengatakan; Shalat malam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah sepuluh rakaat, beliau melakukan witir dengan sekali sujud, dan beliau juga melakukan dua rakaat fajar, hingga jumlahnya menjadi tiga belas rakaat.
Dari hadis 'Aisyah di atas diketahui bahwa Rasulullah melakukan shalat tahajut 10 (sepuluh) rakaat kemudian dilanjutkan dengan witir 3 (tiga) rakaat.
Ibnu Qadamah dalam kitab Al-Mughni Jilid 2, mengatakan dengan dua raka'at, seseorang lebih dapat terhindar dari lupa. Itu pun sama dengan shalat malam dan shalat sunnah Rasulullah. Menurut riwayat yang shahih, beliau mengerjakan shalat sunnah dengan dua raka'at-dua raka'at. ) 3. Ibnu Qadamah, Al-Mughni, Jilid 2, hal. 472
Abdul Qadir Ar-Rahbawi dalam kitab Fikih Shalat Empat Madzhab, pada shalat malam tidak ada keterangan yang menjelaskan batasan-batasan tertentu. Oleh karena itu termasuk shalat malam bila mengerjakan satu raka’at shalat witir setelah shalat ‘isya’. ) 4. 'Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab, hal. 289
Dengan menyandarkan hadits-hadits di bawah ini, shalat malam dilakukan dengan cara dua raka'at-dua raka'at.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ مَا تَرَى فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ قَالَ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ الصُّبْحَ صَلَّى وَاحِدَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى وَإِنَّهُ كَانَ يَقُولُ اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ وِتْرًا فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِهِ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al Mufadldlal telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar berkata, Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang pada saat itu sedang di atas mimbar, Bagaimana cara shalat malam? Beliau menjawab: Dua rakaat dua rakaat. Apabila dikhawatirkan masuk shubuh, maka shalatlah satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalatnya sebelumnya. Ibnu 'Umar berkata, Jadikanlah witir sebagai shalat terakhir kalian, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan hal yang demikian.
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ سِيرِينَ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ عُمَرَ أَرَأَيْتَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ أُطِيلُ فِيهِمَا الْقِرَاءَةَ فَقَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى وَيُوتِرُ بِرَكْعَةٍ وَيُصَلِّي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ وَكَأَنَّ الْأَذَانَ بِأُذُنَيْهِ قَالَ حَمَّادٌ أَيْ سُرْعَةً
Telah menceritakan kepada kami Abu An Nu'man berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid berkata, telah menceritakan kepada kami Anas bin Sirin berkata, Aku bertanya kepada Ibnu 'Umar, Apakah shalat dua rakaat sebelum shalat Fajar bacaannya dipanjangkan? Maka dia menjawab, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat malam dua rakaat dua rakaat lalu witir dengan satu rakaat, dan beliau mengerjakan shalat dua rakaat sebelum melaksanakan shalat Fajar, seakan adzan ada di sisi telinganya. Hammad berkata, Maksudnya beliau melaksanakan dua rakaat tersebut dengan cepat.
Shalat Tahajud
Shalat Tahajud adalah shalat sunnah yang dikerjakan pada malam hari setelah tidur, dan waktunya dimulai setelah shalat Isya hingga menjelang Subuh. Shalat ini termasuk salah satu bentuk qiyâm al-layl (shalat malam), namun dengan syarat dikerjakan setelah tidur, meskipun hanya sebentar. Ulama menjelaskan, "Tahajjud menurut makna asal adalah shalat pada malam hari setelah tidur.")5. Imam An-Nawawi, Al Majmu’Syarh Al Muhadzdza, Tahqiq dan Ta'liq : Muhammad Najib Al Muthi'i, Jilid 4, hal. 94
Waktu untuk melaksanakan shalat tahajud adalah pada malam hari dimulai setelah shalat 'isya' hingga terbit fajar, namun waktu yang paling utama (afdhal) adalah di akhir malam dengan sarat dikerjakan setelah tidur meskipun hanya sebentar.
Namun waktu yang paling afdhal untuk melaksanakan shalat tahajud adalah pada akhir malam.
Akhir malam lebih baik dari awal malam, berdasarkan firman Allah SWT :
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُون ١٧ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ َ١٨
Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.
Bila malam dibagi dua, maka paruh terakhir lebih utama, dan bila dibagi tiga secara rata, maka sepertiga pertengahannya lebih utama dari seperenam yang keempat dan kelima. ) 6. Imam An-Nawawi, Al Majmu’Syarh Al Muhadzdza, Tahqiq dan Ta'liq : Muhammad Najib Al Muthi'i, Jilid 4, hal. 93 Shalat selepas tidur itu berat, dan orang yang mengerjakannya sedikit.) 7. Imam An-Nawawi, Al Majmu’Syarh Al Muhadzdza, Tahqiq dan Ta'liq : Muhammad Najib Al Muthi'i, Jilid 4, hal. 93
Shalat Witir (صلاة الوتر ) adalah shalat sunnah yang dikerjakan pada malam hari sebagai penutup dari shalat malam (qiyamul lail). Dinamakan Witir karena dikerjakan dalam jumlah rakaat ganjil (1, 3, 5, dan seterusnya).
Shalat Witir Sebagai Penutup Shalat Malam.
Sebagaimana dalam hadits 'Abdullah bin 'Umar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Dalam Shahih Bukhari - Bab : Shalat : - Hadis No. : 452 Witir Sebagai Shalat Terakhir atau Penutup dari Shalat Malam.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ مَا تَرَى فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ قَالَ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ الصُّبْحَ صَلَّى وَاحِدَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى وَإِنَّهُ كَانَ يَقُولُ اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ وِتْرًا فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِهِ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al Mufadldlal telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar berkata, Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang pada saat itu sedang di atas mimbar, Bagaimana cara shalat malam? Beliau menjawab: Dua rakaat dua rakaat. Apabila dikhawatirkan masuk shubuh, maka shalatlah satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalatnya sebelumnya. Ibnu 'Umar berkata, Jadikanlah witir sebagai shalat terakhir kalian, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan hal yang demikian.
Tidak Ada 2 Witir Dalam Semalam
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا مُلَازِمُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَدْرٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ قَالَ زَارَنَا طَلْقُ بْنُ عَلِيٍّ فِي يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَمْسَى عِنْدَنَا وَأَفْطَرَ ثُمَّ قَامَ بِنَا اللَّيْلَةَ وَأَوْتَرَ بِنَا ثُمَّ انْحَدَرَ إِلَى مَسْجِدِهِ فَصَلَّى بِأَصْحَابِهِ حَتَّى إِذَا بَقِيَ الْوِتْرُ قَدَّمَ رَجُلًا فَقَالَ أَوْتِرْ بِأَصْحَابِكَ فَإِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ
Telah menceritakan kepada Kami Musaddad telah menceritakan kepada Kami Mulazim bin Amr telah menceritakan kepada Kami Abdullah bin Badr dari Qais bin Thalq ia berkata; Thalq bin Ali telah mengunjungi Kami pada Bulan Ramadhan hingga sore dan berbuka bersama Kami kemudian dia melakukan shalat sebagai Imam bagi Kami pada malam itu dan melakukan witir kemudian dia turun kemasjidnya dan melaksanakan shalat menjadi imam bagi sahabat-sahabatnya hingga tatkala tinggal shalat witir ia mempersilahkan seseorang kedepan dan mengatakan kepadanya: shalat witirlah kamu sebagai imam bagi sahabat-sahabatmu karena aku mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: Tidak ada dua witir dalam semalam!
Tiga madzhab selain madzhab Hanafi sepakat bahwa shalat witir hukumnya sunnah, namun madzhab Hanafi berpendapat bahwa shalat witir itu hukumnya wajib. Seperti diketahui bahwa hukum wajib pada madzhab Hanafi posisinya berada di bawah fardhu dan meninggalkan suatu kewajiban menurut mereka tidak membuat pelakunya akan dijatuhkan hukuman di akhirat sebagaimana yang berlaku untuk seseorang yang meninggalkan hal-hal yang difardhukan. Pelaku yang meninggalkan kewajiban hanya tercegah untuk mendapatkan syafaat dari Nabi, dan tentu saja itu sudah menjadi hukuman yang berat bagi kaum Mukminin, karena mereka sangat berharap pada syafaat beliau. Menurut madzhab Hanafi, shalat witir hukumnya wajib. Jumlahnya tiga rakaat, dan dengan satu kali salam di akhir rakaatnya. ) 8. Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzhab, Jilid 1, hal. 592. An-Nawawi berkata "Witir memurut kami hukumnya sunah, tanpa perbedaan pendapat.) 9. Imam An-Nawawi, Al Majmu’Syarh Al Muhadzdza ,Jilid 4, Tahqiq dan Ta'liq : Muhammad Najib Al Muthi'i, hal. 43.
Imam An-Nawawi dalam Al Majmu’Syarh Al Muhadzdzab mengatakan bahwa
kesempurnaan witir adalah tiga rakaat dan batas paling sempurnanya adalah tujuh, sembilan kemudian sebelas rakaat, dan sebelas rakaat adalah batas maksimalnya menurut pendapat masyhur dalam madzhab kami. Inilah yang dipastikan oleh penulis dan sebagian besar sahabat-sahabat kami. Dalam hal ini ada pendapat lain, maksimal tigabelas rakaat. Pendapat ini dituturkan oleh sekelompok fuqaha Khurasan, Banyak sekali hadits-hadits shahih mengenai hal ini. Bagi yang berpendapat sebelas rakaat, ia menakwilkan bahwa perawi hadits juga memasukkan sunah shalat Isya, bila lebih dari tigabelas rakaat hukumnya tidak boleh, tidak sah witir tigabelas rakaat menurut jumhur fuqaha.
Ada pendapat lain yang dituturkan oleh Iman Al Haramain dan lainnya, boleh shalat witir tigabelas rakaat, karena Nabi SAW mengerjakan dengan bilangan rakaat berbeda-beda,ini menunjukkan jumlahnya tidak terbatas.
Jumhur menjawab pandangan ini, perbedaan bilangan rakaat tidak melebihi tigabelas rakaat, dan tidak ada riwayat yang menyebutkan Nabi SAW shalat lebih dari tigabelas rakaat, dengan demikian lebih dari itu terlarang. ) 10. Imam An-Nawawi- Majmu' Syarah Al Muhadzdzab, Tahqiq dan Ta'liq : Muhammad Najib Al Muthi'i, Jilid 4,, hal. 43
Menurut madzhab Hanafi, shalat witir tiga rakaat, dan dengan satu kali salam di akhir rakaatnya. ) 11. Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzhab, Jilid 1, hal. 592.
Imam Ahmad mengatakan, "Kami berpendapat bahwa shalat Witir adalah satu raka'at." Di antara para sahabat yang meriwayatkannya adalah Utsman bin Affan, Sa'ad bin Abi Waqqash, Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Abu Musa, Mu'awiyah dan sayyidah Aisyah RA., Mu'adz Al-Qari' dan beberapa sahabat Rasulullah SAW pernah mengerjakannya. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. ) 12. Ibnu Qadamah, Al Mughni, Jilid 2, Tahqiq: DR. M.Syarafuddin Khathab DR. Sayyid Muhammad Sayyid Prof. Sayyid Ibrahim Shadiq, hal. 517
Disarikan dari Kitab Al Majmu’Syarh Al Muhadzdzab, Jilid 4 karya Imam An-Nawawi, tata cara melaksanakan shalat witir sebagai berikut :
Berkenaan dengan cara yang lebih utama ada beberapa pendapat sebagai berikut :
lebih baik dilakukan dengan dua kali salam karena٠ banyaknya hadits shahih yang menyebut demikian. Alasan lain; karena banyaknya ibadah sehingga perlu pembauran niat, doa di akhir shalat, salam dan lainnya, dan harus diniatkan untuk witir
Lebih baik disambung dengan satu kali salam. Pendapat ini dikemukakan oleh Syaikh Abu Zaid Al Marwazi, untuk menghindari perbedaan pendapat, sebab Abu Hanifah tidak membenarkan pemisahan rakaat.
Bila shalat sendirian, lebih baik dipisah dan bila bertindak sebagai imam, ketiga rakaat witir dipisah agar shalat setiap makmum yang mengikutinya sah.
Kebalikan dari pendapat ketiga. Pendapat ini dituturkan oleh Ar-Rafi’i
Bila seseorang witir satu rakaat, satu rakaat ini diniatkan untuk witir
Disarikan dari Kitab Al Majmu’Syarh Al Muhadzdzab, Jilid 4 karya Imam An-Nawawi (Syafi'iyah), waktu untuk melaksanakan shalat witir sebagai berikut :
waktu shalat witir bermula setelah shalat Isya dilaksanakan, baik ada shalat sunahnya atau tidak, baik witir satu rakaat atau lebih. Tidak sah bila shalat witir dikerjakan sebelum shalat Isya, baik dilakukan dengan sengaja atau lupa dengan mengira bahwa ia sudah shalat Isya ataupun ia mengira hal itu boleh. Seperti itu pula bila ia sudah mengerjakan shalat Isya dan ia mengira masih suci, setelah itu ia berhadats lalu wudhu kemudian shalat witir, namun ternyata ia berhadats saat shalat Isya, maka shalat witirnya batal.
Waktu witir masuk seiring masuknya waktu Isya dan kita boleh shalat witir sebelum shalat Isya. Pendapat ini dituturkan oleh Imam Al Haramain dan lainnya. Al Qadhi Abu Ath-Thayib menguatkan pendapat ini. Mereka berkata, Baik dilakukan dengan sengaja ataupun lupa.
Jika orang witir lebih dari satu rakaat, waktunya masuk seiring ia melakukan shalat Isya, namun bila yang bersangkutan witir satu rakaat, untuk sahnya shalat witir ini disyaratkan agar didahului oleh shalat sunah ba’diyah Isya terlebih dahulu. Tidak sah shalat witir satu rakaat yang dikerjakan sebelum menunaikan shalat sunah ba’diyah Isya. Imam Al Haramain berkata, “Shalat witirnya menjadi shalat sunah.” Ar-Rafi’i berkata, “Berkenaan dengan sahnya shalat witir tersebut sebagai shalat sunah atau batal secara keseluruhan, seharusnya berlaku perbedaan pendapat sebelumnya tentang orang yang shalat zhuhur sebelum matahari condong ke barat.
menurut pendapat yang kuat dan dipastikan oleh penulis dan jumhur sahabat-sahabat kami (madzhab Suafi'i), waktu shalat witir memanjanghingga terbit fajar. Al-Mutawalli meriwayatkan salah satu pendapat Asy-Syafi’i, waktu shalat witir memanjang hingga shalat fardhu Subuh dilakukan. Sementara waktu yang dianjurkan untuk shalat witir, An-Nawawi dan mayoritas ulama Syafi'iyah memastikan waktu terbaiknya adalah di akhir shalat malam. Bagi yang tidak shalat tahajjud, dianjurkan shalat witir setelah shalat fardhu Isya dan sunahnya dilakukan di awal malam. Dan bagi yang biasa shalat tahajjud, lebih baik menunda shalat witir agar dilakukan setelah shalat tahajjud dan witirnya dilakukan di akhir shalat malam.
Menurut madzhab Hanafi, Waktu shalat witir diawali dengan mulai gelapnya malam dan diakhiri dengan menyingsingnya fajar. ) 13. Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzhab, Jilid 1, hal. 594.
Menurut madzhab Hanafi, Pelaksanaan shalat ini harus diakhirkan dari shalat isya untuk memenuhi kewajiban melaksanakan setiap shalat sesuai urutannya, namun jika seseorang mendahulukan shalat witimya sebelum shalat isya karena lupa, maka shalatnya tetap sah. Begitu juga ketika seseorang shalat sesuai dengan urutary lalu temyata dia teringat sesuatu yang membuat shalat isya yang telah dilakukannya itu tidak sah, maka shalat witirnya tetap sah, dia hanya perlu mengulang shalat isyanya saja, karena kewajiban memenuhi urutan tidak lagi berlaku untuk kondisi seperti itu.
Menurut madzhab Hanafi, Apabila seseorang meninggalkan shalat ini karena lupa atau sengaja, maka dia diwajibkan untuk mengqadhanya, meskipun jarak waktunya sudah lama berlalu. Pelaksanaan shalat ini harus diakhirkan dari shalat isya untuk memenuhi kewajiban melaksanakan setiap shalat sesuai urutannya, namun jika seseorang mendahulukan shalat witimya sebelum shalat isya karena lupa, maka shalatnya tetap sah. Begitu juga ketika seseorang shalat sesuai dengan urutary lalu temyata dia teringat sesuatu yang membuat shalat isya yang telah dilakukannya itu tidak sah, maka shalat witirnya tetap sah, dia hanya perlu mengulang shalat isyanya saja, karena kewajiban memenuhi urutan tidak lagi berlaku untuk kondisi seperti itu. ) 14. Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzhab, Jilid 1, hal. 594.
Imam Ahmad mengatakan, "Alm tidak pemah mengenal ada shalat Witir setelah fajar. ) 15. Ibnu Qodamah, A;-Mughni, Jilid 2, hal. 480.
Dalam pandangan ulama Hanafiyah dan Hanabilah disunnahkan membaca qunut pada shalat witir.” Sebagaimana terdapat riwayat dari Hasan bin 'Ali, dia berkata:
عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي الْوِتْرِ اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ فِإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى النَّبِيٌّ مُحَّدٍ
“Rasulullah telah mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang aku bacakan pada shalat witir: Allaahummah-dinii fiiman hadait, wa 'aafinii fiiman 'aafait, wa tawallanii fiiman tawallait, wa baarik lii fiimaa a'thait, wa qinii sharra maa qadhait, fa innaka taqdhi wa laa yuqdhaa 'alaik, wa innahu laa yadzillu man waalait, wa laa ya'izzu man 'aadait, tabaarakta rabbanaa wa ta'aalait Wa shallallaahu 'alan-Nabiyyi Muhammad." (Ya Allah, berikanlah aku petunjuk, sebagaimana Engkau telah memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Mu; berikanlah aku kesehatan sebagaimana Engkau telah memberikan kesehatan kepada hamba-hamba-Mu; berikanlah kepadaku perlindungan, sebagaimana Engkau telah memberikan perlindungan kepada hamba-hamba-Mu; berikanlah berkah atas apa-apa yang telah Engkau berikan kepadaku; lindungilah aku dari kejahatan yang telah Engkau tetapkan, karena hanya Engkaulah yang dapat menetapkan sesuatu, tidak ada yang berkuasa selain Engkau; sesunggu nya tidak akan terhina orang yang mendapat perlindungan-Mu, dan tidak akan mulia orang yang telah Engkau musuhi; Maha suci Engkau wahai Rabb-ku, lagi Maha tinggi; dan semoga rahmat selalu dilimpahkan kepada nabi Muhammad).” (HR. Perawi yang lima. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan) ) 1. 'Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab, hal. 268.
Ulama Syafi’iyah menegaskan bagusnya kalimat tersebut sebagai bacaan qunut. Mereka menambahkan di dalamnya "Wa aalihi wa shahbihii wa sallam". ) 1. 'Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab, hal. 268.
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa yang lebih afdhal adalah bacaan yang berasal dari riwayat ‘Abdullah bin Mas’ud, yaitu:
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِينُكَ، وَنَسْتَهْدِيكَ، وَنَسْتَغْفِرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ، وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْكَ، وَنُثْنِي عَلَيْكَ الْخَيْرَ كُلَّهُ، نَشْكُرُكَ وَلَا نَكْفُرُكَ، وَنَخْلَعُ وَنَتْرُكُ مَنْ يَفْجُرُكَ. اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، نَرْجُو رَحْمَتَكَ، وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إِنَّ عَذَابَكَ الْجِدَّ بِالْكُفَّارِ مُلْحِقٌ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
“Ya Allah, sesungguhnya kami mohon pertolongan, hidayah, dan ampunan kepada-Mu. kami beriman kepada-Mu, kami bertawakkal kepada-Mu, dan kami memanjatkan semua pujian yang baik kepada-Mu. kami bersyukur kepada-Mu dan tidak kufur kepada-Mu, kami berlepas diri dan meninggalkan orang yang durhaka kepada-Mu. Ya Allah, hanya kepada-Mulah kami menyembah, mengerjakan shalat dan bersujud, hanya kepada-Mu kami beramal dan mengabdikan diri, kami mengharapkan rahmat-Mu, dan kami takut akan adzab-Mu, sebab sesungguhnya adzab-Mu yang keras pasti akan menimpa orang-orang kafir. Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam kepada nabi Muhammad, keluarga, dan para shahabatnya. ) 1. 'Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab, hal. 268.
Menurut Madzhab Hanafi, disunnahkan agar doa qunut dibaca dengan suara yang rendah, baik untuk imam, makmum, ataupun yang shalat sendirian. ) 1. Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzhab, Jilid 1, hal. 594.Kapan Waktu Membaca Qunut?
Menurut pendapat yang masyhur dalamm Madzhab Syafi'i, qunut dianjurkan pada parvh akhir bulan Ramadhan secara khusus. ) 16. Imam An-Nawawi, Al Majmu’Syarh Al Muhadzdzab, Jilid 4, Tahqiq dan Ta'liq : Muhammad Najib Al Muthi'i, hal. 69 dan dilakukan setelah bangun dari ruku'. ) 17. Imam An-Nawawi, Al Majmu’Syarh Al Muhadzdzab, Jilid 4, Tahqiq dan Ta'liq : Muhammad Najib Al Muthi'i, hal. 70
Membaca doa qunut dianjurkan pada raka'at terakhir dalam shalat Witir sebelum ruku'. ) 18. Ibnu Qadamah, Al Mughni, Jilid 2, Tahqiq: DR. M.Syarafuddin Khathab DR. Sayyid Muhammad Sayyid Prof. Sayyid Ibrahim Shadiq, hal. 520-521.
Tidak disyariatkan qunut dalam witir kecuali menurut sebagian riwayat pada separuh akhir Ramadan; bahkan sebagian besar memakruhkannya.
Shalat tarawih atau yang biasa disebut "Qiyaamu Ramadhan" adalah shalat sunnah bagi laki-laki dan perempuan yang dikerjakan setelah shalat ‘isya’ sebelum shalat witir pada bulan Ramadhan. mengerjakannya dengan dua raka’at dua raka’at. Shalat tarawih boleh juga dikerjakan setelah shalat witir, tetapi kurang afdhal, dan waktunya sampai malam berakhir.) 18. 'Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab, hal. 270.
Menurut madzhab Maliki, shalat tarawih harus dilakukan setelah shalat isya dan sebelum witir, apabila dilakukan setelah witir maka hukumnya makruh, dalilnya adalah hadits Nabi @," ladikanlahwitir sebagai akhir dari shalat malam kalian."
Apabila waktu shalat tarawih ini telah berakhir dengan tanda menyingsin gnya f.ajar dan belum dilaksanakan hingga waktu itu tiba, maka shalat tersebut tidak perlu diqadha, baik hanya shalat tarawihnya saja ataupun bersama shalat isya. Ini menurut tiga madzhab selain madzhab Syah'i, sedangkan untuk pendapat madzhab Syafi'i dapat dilihat pada penjelasan berikut ini. ) 19. Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzhab, Jilid 1, hal. 608.
Menurut madzhab Syafli, apabila waktu shalat tarawih telah berakhir dan belum dilaksanakan, maka shalat ini tentu saja boleh diqadha. ) 20. Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzhab, Jilid 1, hal. 608.
Hukum shalat tarawih menurut tiga madzhab selain madzhab Maliki adalah sunnah ain muakkad (sangat disunnahkan bagi tiap individu), baik untuk pria ataupun wanita. ) 21. Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzhab, Jilid 1, hal. 604.
Menurut madzhab Maliki, hukum shalat tarawih bagi semua, baik pria ataupun wanita, adalah mandub muakkad (sangat dianjurkan, tapi tidak sampai disunnahkan).
Menurut Abu Hanifah (madzhad Hanafi), Shalat tarawih itu hukumnya sunnah muakkad. ) 22. Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzhab, Jilid 1, hal. 607.
Menurut Mdzhab Syafi'i, shalat tarawih berjumlah duapuluh rakaat dengan sepuluh kali salam. ) 23. Imam An-Nawawi, Al Majmu’Syarh Al Muhadzdzab, Jilid 4, Tahqiq dan Ta'liq : Muhammad Najib Al Muthi'i, hal. 79.
Imam Syafi'i berkata "Sedangkan shalat Tarawih pada bulan Ramadhan, saya lebih senang sekiranya ia dikerjakan secara sendirian." ) 1. Imam Asy-Syafi'i, Al-Umm, Jilid 2,Tahqiq & Takhrij : Dr. Rir'at Fauzi Abdul Muththalib, hal. 7. Namun di dalam Kitab Al Majmu' Syarah Al Muhadzdzab, Jilid 4, Imam An-Nawawi mengatakan bahwa "menurut pendapat yang kuat menurut kami, shalat tarawih secara berjamaah lebih utama dari pada sbalal sendirian." ) 1. Imam An-Nawawi, Al Majmu’Syarh Al Muhadzdzab, Jilid 4, Tahqiq dan Ta'liq : Muhammad Najib Al Muthi'i, hal. 83.
Perbedaan antara pendapat Imam Syafi'i dan Imam An-Nawawi tersebut bukan merupakan kontradiksi antara yang satu dengan yang lainnya, tetapi menunjukkan perkembangan ijtihad dalam mazhab Syafi‘i. Imam al-Syafi‘i sendiri menekankan kondisi pribadi dan kekhusyukan, sedangkan ulama setelahnya menimbang aspek kemaslahatan berjamaah dan sunnah sahabat.
Menurut madzhab Maliki, berjamaah untuk shalattarawih itu hanya dianjurkan. Menurut madzhab Hanafi, berjamaah untuk shalat tarawih hukumnya sunnah kifayah untuk seluruh penduduk di suatu wilayah,maka apabila salah satu jamaah telah melaksanakannya, gugurlah hukum sunnah itu bagi jamaah yang lain. ) 1. Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzhab, Jilid 1, hal. 605.
Shalat dhuha hukumnya sunnah menurut tiga Madzhab selain madzhab Maliki. Menurut Madzhab Maliki, hukum shalat dhuha itu tidak sampai disunnahkan, melainkan hanya dianjurkan dengan anjuran yang ditekankan (mandub muakkad).
Waktu mengerjakannya adalah sejak matahari terangkat satu tombak sampail tenggelam matahari. Akan tetapi yang paling afdhal dilakukan pada seperempat siang (pertama). Dari Zaid bin Argam, dia berkata: “Rasulullah ££ pernah pergi menemui penduduk Quba’, ketika itu mereka sedang mengerjakan shalat dhuha, maka Rasulullah bersabda:
ﺻﻼة اﻷواﺑﯾن إذا رﻣﺿت اﻟﻔؤﺻﺎل ﻣن اﻟﺿﺣﻰ
Shalatnya orang-orang yang kembali (bertaubat) adalah ketika anak-anak unta telah merasa kepanasan yaitu pada waktu dhuha’. (HR. Ahmad, Muslim, dan Tirimidzi)
Apabila telah lewat dari waktu yang semestinya, maka disunnahkan bagi yang hendak mengerjakan shalat dhuha untuk mengqadha shalat tersebut.
shalat dhuha lebih afdal jika diakhirkan hingga matahari sudah terbit dengan sempurna, sedangkan jangka waktunya kira-kira seperti antara waktu ashar hingga terbenamnya matahari.
Jumlah minimal raka’at pada shalat dhuha adalah dua raka’at dan maksimal delapan raka’at. Rasulullah bersabda :
Dari Abu Dzarr :
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى
Setiap pagi dari persendian masing-masing kalian ada sedekahnya, setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir sedekah, setiap amar ma'ruf nahyi mungkar sedekah, dan semuanya itu tercukupi dengan dua rakaat dhuha. (HR. Muslim).
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ فِي كُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ فَلَهُ بِكُلِّ صَلَاةٍ صَدَقَةٌ وَصِيَامٍ صَدَقَةٌ وَحَجٍّ صَدَقَةٌ وَتَسْبِيحٍ صَدَقَةٌ وَتَكْبِيرٍ صَدَقَةٌ وَتَحْمِيدٍ صَدَقَةٌ فَعَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذِهِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ ثُمَّ قَالَ يُجْزِئُ أَحَدَكُمْ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَا الضُّحَى
Hendaklah masing-masing dari kalian setiap harinya bersedekah untuk setiap ruas tulangnya. Setiap shalat (yang ia kerjakan) menjadi sedekah baginya, puasa adalah sedekah, haji adalah sedekah, bacaan tasbih adalah sedekah, bacaan takbir juga sedekah, bacaan tahmid adalah sedekah." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menghitung (menyebutkan) semua amal Shalih ini, lalu bersabda: "Cukuplah salah seorang dari kalian mengerjakan shalat dua raka'at dhuha untuk menggantikan semua itu." (HR. Abu Daud)
hadits Abdullah bin Buraidah dari ayahnya :
فِي الإِنْسَانِ ثَلاَثُ مِائَةٍ وَسِتُّونَ مَفْصِلاً، عَلَى كُلِّ مَفْصِلٍ صَدَقَةٌ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، فَمَنْ يُطِيقُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تُنَحِّي الأَذَى، وَإِلاَّ فَرَكْعَتَيِ الضُّحَى
Dalam diri manusia ada 360 persendian, yang setiap persendian harus bersedekah" Mereka lalu berkata, "Wahai Rasulullah, siapa yang sanggup melakukan itu?" Beliau menjawab, "Menyingkirkan rintangan, atau dengan dua rakaat shalat Dhuha. (HR. Ibnu Hibban)
Berikut ini jumlah raka'at shalat duha menurut beberapa madzhab :
Jumlah rakaat paling sedikit adalah dua rakaat, sedangkan paling banyak adalah delapan rakaat. Apabila seseorang mengerjakannya lebih dari itu secara sengaja dan denganniatshalat dhuha, maka rakaat lain selain yang delapan dianggap tidak sah. Sedangkan jika terlupa atau tidak tahu, maka rakaat selain yang delapan dianggap sebagai shalat sunnah biasa.
jumlah maksimal rakaat shalat dhuha adalah enambelas rakaat. Namun jika lebih dari itu, maka ada dua kondisi; pertama, apabila diniatkan dengan satu salam saja maka shalatnya sah dan kelebihan rakaatnya dianggap shalat sunnah biasa, hanya saja shalat sunnah di siang hari hukumnya makruh jika dilakukan lebih dari empat rakaat dengan satu salam. Kedua, apabila dipisah dua-dua atau empat-empat, maka tidak dimakruhkan untuk menambah rakaatnya.
1. Pengertian Shalat Istikharah
Shalat istikharah adalah shalat sunnah dua raka’at yang disunnahkan bagi orang yang bermaksud memilih dan mencari tahu yang tertbaik dari beberapa pilihan hal yang mubah. )1. 'Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab, hal. 293. Dianjurkan pula bagi setiap Muslim untuk melakukan dua rakaat shalat sunnah istikharah. )2. Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzhab, Jilid 1, hal. 590 Orang yang ingin melakukan suatu hal, diSunnahkan shalat dua rakaat terlebih dahulu dengan niat shalat Istikharah. )3.
2. Dalil Shalat Istikharah
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الْمَوَالِي عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ يَقُولُ إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِي قَالَ وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Abu Al Mawaliy dari Muhammad bin Al Munkadir dari Jabir bin 'Abdullah radliallahu'anhua berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajari kami shalat istikharah dalam setiap urusan yan kami hadapi sebagaimana Beliau mengajarkan kami AL Qur'an, yang Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika seorang dari kalian menghadapi masalah maka ruku'lah (shalat) dua raka'at yang bukan shalat wajib kemudian berdo'alah: "Allahumma inniy astakhiiruka bi 'ilmika wa astaqdiruka biqudratika wa as-aluka min fadhlikal 'azhim, fainnaka taqdiru wa laa aqdiru wa ta'lamu wa laa 'Abdullah'lamu wa anta 'allaamul ghuyuub. Allahumma in kunta ta'lamu anna haadzal amru khairul liy fiy diiniy wa aku ma'aasyiy wa 'aafiyati amriy" atau; 'Aajili amriy wa aajilihi faqdurhu liy wa yassirhu liy tsumma baarik liy fiihi. Wa in kunta ta'lamu anna haadzal amru syarrul liy fiy diiniy wa ma'aasyiy wa 'aafiyati amriy" aw qaola; fiy 'aajili amriy wa aajilihi fashrifhu 'anniy washrifniy 'anhu waqdurliyl khaira haitsu kaana tsummar dhiniy". Beliau bersabda: Dan sebutlah keperluannya" (Ya Allah aku memohon pilihan kepadaMu dengan ilmuMu dan memohon kemampuan dengan kekuasaanMu dan memohon kepadaMu dengan karuniaMu yang Agung, karena Engkau Maha berkuasa sedang aku tidak berkuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui karena Engkaulah yang Maha Mengetahui perkara yang ghoib. Ya Allah bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini atau Beliau bersabda; di waktu dekat atau di masa nanti maka takdirkanlah buatku dan mudahkanlah kemudian berikanlah berkah padanya. Namun sebaliknya, ya Allah bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini atau Beliau bersabda; di waktu dekat atau di maa nanti maka jauhkanlah urusan dariku dan jauhkanlah aku darinya dan tetapkanlah buatku urusn yang baik saja dimanapun adanya kemudian paskanlah hatiku dengan ketepanMu itu". Beliau bersabda: "Dia sebutkan urusan yang sedang diminta pilihannya itu".
Imam An-Nawawi dalam Kitab Al Majmu’Syarh Al Muhadzdzab menerangkan bahwa pada rakaat pertama, setelah membaca Al Faatihah, dianjurkan membaca surah Al Kaafiruun, lalu pada rakaat keduamembaca surah Al Ikhlash. )3. Imam An-Nawawi, Al Majmu’Syarh Al Muhadzdzab, Jilid 4, Tahqiq dan Ta'liq : Muhammad Najib Al Muthi'i. hal. 118
Berdasarkan kerangan Imam An-Nawaei dan hadits Jabir bin 'Abdullah tersebut di atas maka dapat disarikan tata cara shalat istikharah sebagai berikut :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ.
اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ (sebutkan keperluanmu) خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي (أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ) فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ.
وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ (sebutkan lagi keperluanmu) شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي (أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ) فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ أَرْضِنِي.
Allâhumma innî astakhîruka bi‘ilmika, wa astaqdiruka biqudratika, wa as-aluka min fadhlikal ‘azhîm. Fa-innaka taqdiru wa lâ aqdiru, wa ta‘lamu wa lâ a‘lamu, wa anta ‘allâmul ghuyûb. Allâhumma in kunta ta‘lamu anna hâdzal-amra (sebutkan keperluanmu) khairun lî fî dînî wa ma‘âsyî wa ‘âqibati amrî (aw qâla fî ‘âjili amrî wa âjilih), faqdurhu lî wa yassirhu lî tsumma bârik lî fîh. Wa in kunta ta‘lamu anna hâdzal-amra (sebutkan lagi keperluanmu) syarrun lî fî dînî wa ma‘âsyî wa ‘âqibati amrî (aw qâla fî ‘âjili amrî wa âjilih), fa-shrifhu ‘annî wa-shrifnî ‘anhu, waqdur lî al-khaira haitsukâna tsumma ardhini.
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan yang baik kepada-Mu dengan ilmu-Mu,
aku memohon kemampuan kepada-Mu dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon kepada-Mu karunia-Mu yang agung.
Karena sesungguhnya Engkau Maha Kuasa, sedangkan aku tidak mampu, Engkau Maha Mengetahui, sedangkan aku tidak tahu, dan Engkau Maha Mengetahui segala yang ghaib.
Ya Allah, jika menurut pengetahuanMu bahwa urusan ini (sebutkan keperluanmu) baik bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan akibat urusanku (atau dikatakan: dalam waktu dekat dan masa depanku), maka takdirkanlah untukku, mudahkanlah untukku, lalu berkahilah untukku.
Dan jika menurut pengetahuanMu bahwa urusan ini (sebutkan lagi) buruk bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan akibat urusanku (atau dikatakan: dalam waktu dekat dan masa depanku), maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya. Dan takdirkanlah kebaikan untukku di mana pun kebaikan itu berada, lalu ridhoilah aku dengannya.