Tajwid➡️ Hukum Huruf Ra

Dalam ilmu tajwid, huruf ر (ra) memiliki hukum tertentu yang disebut "talaqqi sifat tafkhim dan tarqiq". Hukum Ra ini terbagi menjadi dua, yaitu:

A.
Tafkhim (dibaca tebal).

Ra dibaca tafkhim (tebal) dalam kondisi berikut:

1.
Ra berharakat fathah atau dhammah.

Contoh :
رَحْمَةٌ   ➡️ dibaca tebal karena Ra berharakat fathah.
رُسُلٌ   ➡️ dibaca tebal karena Ra berharakat dhammah.

2.
Ra sukun setelahnya huruf berharakat fathah atau dhammah.

Contoh :
قَرْنٍ   ➡️ Ra sukun setelahnya huruf berharakat fathah.
يُرْزَقُونَ   ➡️ Ra sukun setelahnya huruf berharakat dhammah.

3.
Ra sukun dan sebelumnya berharakat fathah/dhammah.

Contoh :
مَرْيَمَ   ➡️ Ra sukun dan sebelumnya berharakat fathah.

4.
Ra sukun setelah huruf mad, dan sebelumnya huruf madnya berharakat fathah/dhammah.

Contoh :
خُسِرُوا   ➡️ Ra dibaca tebal.

B.
Tarqiq (dibaca tipis).

Ra dibaca tarqiq (tipis) dalam kondisi berikut:

1.
Ra berharakat kasrah.

Contoh :
رِزْقًا   ➡️ Ra dibaca tipis.

2.
Ra sukun, sebelumnya berharakat kasrah dan tidak ada sebab tafkhim.

Contoh :
فِرْعَوْنَ   ➡️ Ra dibaca tipis.

3.
Ra sukun setelah huruf mad yang sebelumnya berharakat kasrah.

Contoh :
خِيرَاتٍ   ➡️ Ra dibaca tipis karena sebelumnya ada ya sukun didahului kasrah.

C.
Jawazul Wajhain. ( جَوَازُ الْوَجْهَيْنِ )

Boleh dibaca dengan dua wajah (cara) yang benar secara qira'ah.
Huruf ra ( ﺭ ) boleh dibaca tafkhim dan boleh dibaca tarqiq. Hukum ini berlaku jika terdapat huruf ra sukun huruf sebelumnya berharakat kasrah dan huruf sesudahnya berupa huruf isti'la.
Dalam konteks huruf Ra (ر), Jawāzul Wajhain berlaku pada sejumlah kata tertentu di Al-Qur’an yang bisa dibaca dengan dua cara: tafkhīm (tebal) atau tarqīq (tipis), tergantung pendekatan yang digunakan oleh qari atau imam qira'ah.

Ra yang Boleh Dibaca dengan Jawāzul Wajhain :

1.
Ra sukun karena waqaf (berhenti), dan sebelumnya huruf berharakat kasrah, dan setelah Ra ada huruf isti'la (huruf tebal).

Contoh :
مِصْرَ   (kata “Miṣra” dalam QS. Yunus: 87, Yusuf: 21, dll). → Jika waqaf, Ra menjadi sukun.
🔹 Dalam hal ini, boleh dibaca:
➡️Tafkhim: مِصْرْ (Miṣr ) → dengan Ra tebal
➡️Tarqiq: مِصْرْ (Miṣr) → dengan Ra tipis
📘 Alasannya:

👉Sebelum Ra ada kasrah(   مِ   )
👉Setelah Ra ada huruf isti‘la (ṣ dalam sambungan)
👉Tapi saat waqaf, huruf isti‘la itu tidak diucapkan, sehingga muncul dua pendapat:

👉Yang fokus ke kasrah sebelumnya → tipis
👉Yang melihat adanya huruf isti‘la dalam aslinya → tebal

Kaidahnya:
إذا سكنت الراء وقبلها كسر أصلي وبعدها حرف استعلاء غير مكسور، جاز تفخيمها وترقيقها
"Apabila Ra sukun, sebelumnya kasrah asli, dan sesudahnya huruf isti'la (yang tidak berkasrah), maka boleh dibaca tebal atau tipis."

2.
Ra sukun karena waqaf, sebelumnya kasrah, TIDAK ada huruf isti'la setelah Ra.

Contoh :
فِجْرَ   → diwaqafkan menjadi:   فِجْرْ
➡️ Sebelum Ra ada kasrah (  ج  ).
➡️ Setelah Ra tidak ada huruf isti'la (tidak ada lagi karena diwaqafkan).
➡️ Tarqiq (tipis) karena tidak ada huruf isti‘la setelah Ra, dan sebelumnya kasrah.

3.
Ra sukun bukan karena waqaf (Ra asli sukun), dan sebelumnya harakat kasrah.

Contoh :
فِرْقَةٌ
➡️ Ra memang sukun dalam struktur kata (bukan karena waqaf).
➡️ Sebelumnya kasrah (فِ ).
➡️ Tarqiq (tipis) karena Ra sukun asli dan sebelumnya kasrah.

4.
Ra sukun bukan karena waqaf, sebelumnya kasrah, tetapi setelah Ra ada huruf isti'la.

Contoh :
إِرْصَادًا
➡️ Ra sukun asli.
➡️ Sebelumnya kasrah ( إِ ).
➡️ Setelah Ra: huruf isti‘la yaitu ص .
➡️ Tetap Tarqiq (tipis) karena meskipun ada isti‘la setelahnya, tidak mempengaruhi hukum Ra asli sukun. Yang dihitung adalah harakat sebelum Ra.